Everest Puncak Kehidupan?

Nonton film yang penuh pelajaran itu sangat berarti, apalagi jika didapat dari pengalaman orang lain tanpa harus mengalaminya sendiri

Mendaki gunung? itu tidak ada dalam kamus saya. Selain takut ketinggian, saya malah menikmati gunung dari jarak pandang tertentu. Terakhir saya “mendaki” gunung Bromo dengan mobil hardtop, itu sudah membuat kenangan akan ketakutan yang tidak menyenangkan apalagi jika Gunung Everest.
Gunung Fuji pun saya daki dengan menggunakan mobil, tidak ada struggle yang harus melibatkan fisik, malah saya menikmatinya dengan mendengarkan lagu dari Matsuyama Chiharu yang sangat pas dengan suasana musim gugur waktu itu.
Everest memang adalah titik tertinggi dari daratan yang ada di dunia. Tinggi gunung ini adalah sekitar 8.850 meter, walaupun ini masih menjadi perdebatan antar negara dimana kaki kaki everest berada. Perbedaan pendapat ini menurut para ahli juga dimungkinkan karena puncak everest yang terus bertambah seiring dengan perubahan kontur bumi.
“:Unlike many mountain-disaster stories, this is the kind that makes you never want to look at a mountain again”. Nah, apalagi bagi saya. Film yang didasarkan dari kisah nyata yang berakhir tragis ini terjadi tahun 1996 tanggal 10 Mei. Seharusnya menjadi hari kemenangan bagi beberapa orang yang telah membayar $65.000 untuk mengikuti ekspedisi ini bergabung dengan Adventure Consultant. Tetapi alam meminta bayaran lebih mahal lagi, nyawa dari beberapa orang pendaki dan menjadikan jasadnya abadi sebagai lambang keagungan Everest.
Dalam perjalanan tragis ini, banyak lempengan kisah-kisah kecil yang menggugah. Pengorbanan, persahabatan, keberanian dan tekad. Rob Hall sebagai penanggung jawab dari expedisi berbayar ini tergambarkan sangat bertanggung jawab. Dia bahkan rela untuk mendaki kembali setelah mencapai puncak hanya untuk memenuhi keinginan salah satu pendaki yang membawa aspirasi dari anak-anak sekolah. Namun sayang keputusan ini pula yang membuat pendakian ini menjadi kisah tragis.
Dalam setiap pendakian, pengambilan keputusan adalah sama dengan memilih antara hidup dan mati. Jika tidak dibarengi oleh akal sehat dan pertimbangan yang matang akan menjadi ritual penyerahan nyawa. Menimbang-nimbang antara ambisi akan keinginan di depan mata dengan  keadaan yang sebenarnya memang sangat berat. Apalagi di gunung, puncak pun kelihatan dekat tetapi usaha untuk mencapai ke sana berlipat ganda dari keadaan biasa.
Hidup pun demikian, kadang ada ambisi yang membuat kita buta akan keadaan yang sebenarnya. Kerja sama dengan logika dan orang-orang yang punya pengalaman terhadap sesuatu sangat berharga. Tapi apakah kita masing masing memiliki puncak kehidupan?
Saya memilih tidak. Saya tidak ingin merasakan kemenangan atau meraih puncak. Jika itu terjadi sama saja melihat para pendaki itu kehilangan tenaga dan semangat untuk kembali. Mungkin karena kembali ke kehidupan tidak semenarik melihat puncak everest lagi. Highest point sudah tertaklukkan, lalu apa lagi?
Hidup bagi saya adalah menikmati setiap saat, seperti yang disampaikan oleh Rob Hall dalam dialog di film ini. “Perhatikan langkah-langkahnya jangan perhatikan puncak gunungnya”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *