Why Worry?

Wajar saja jika seorang teman ingin melihat temannya bahagia. Begitupun teman saya yang satu ini. Melalui Blackberry Messenger dia menyempatkan diri untuk sebuah percakapan persuasif. Sebenarnya menyangkut SARA. Tetapi saya maklum, semua orang pasti mengatakan kecapnya adalah kecap nomor satu. Padahal kecap nomor satu tergantung dari orang yang bisa merasakan nikmatnya.

“Kamu buka jilbab saja, nanti saya kenalin kamu dengan teman suami saya yang kaya!”

Saya tertawa dalam hati. Berada di lingkungan yang berbeda memang beresiko seperti ini. Saya maklum bahwa seseorang berusaha untuk “menyelamatkan” orang lain sesuai apa yang diyakininya.

“Janganlah, saya tutup saja sudah banyak yang antri, apalagi jika saya buka,”

Jawabanku hanya seloroh. Ini tak benar, saya bukan artis muda dan cantik yang begitu terlihat sendiri para kumbang sudah tak sabar untuk mendekat. Tetapi begitulah cara saya menolak. Saya tidak mungkin menjelaskan paham yang saya yakini. Jika dia mengerti dia tidak akan menyuruh saya untuk mengabaikan apa yang bagi saya adalah kewajiban, menutup aurat.

Saya tahu diri, saya  belum sempurna melaksanakan kewajiban ini, tapi saya yakin semua yang dimulai dari niat dan doa akan mencapai kejayaan. Ketidakmampuan dan ketidak sempurnaan saya itu karena saya masih terdiri dari darah dan daging dengan label manusia.

“Saya sudah senang dengan keadaan ini, bisa fokus sama diri sendiri dan anak-anak saja”, jawabku menambahkan

“Tapi Ly, suatu waktu kamu akan jadi tua, dimana kamu sudah tidak mampu lagi mencari nafkah untuk dirimu sendiri. Anak-anak pun akan hidup sendiri, baik jika mereka balas memperhatikan, jika tidak? gimana?”

Hmm.. sepertinya dia cocok jadi marketing asuransi.

Sekali lagi. Saya cuma menjawab dengan santai. “Kita lihat saja nanti”, sambil menggurat senyum yang tak tampak olehnya.

Tetapi saya tak bisa bohong, pernyataan ini ternyata membawa saya ke perenungan yang lebih dalam. Apakah saya harus mengikuti kekuatirannya? Saya terlahir sendiri tanpa ada permintaan dari saya pribadi. Demikian pun tentang kematian. Ataupun tentang jalan hidup yang kadang kita tidak bisa duga. Saya terima semuanya karena saya yakin bahwa semua ada yang mengatur dan saya yakin akan kuasa Sang Pencipta.

Semua perencanaan yang kadang kita buat, harapan yang dibiarkan berkembang sejak kecil, membuat kita terkurung dan kadang tidak bisa mensejajarkan dengan kebenaran yang nyata,

Siapa yang ingin susah? semua manusia ingin bahagia. Ini saja sudah keliru. Kalau tak ada malam maka siang pun tak ada. Keseimbangan yang harusnya kita terima sebagai karunia malah kita anggap itu tak wajar.

Menjadi tua, dijauhkan oleh hal-hal materi. Itu pun hal yang wajar. Saya tidak ingin disaat saya akan melepas napas ini, materi dan orang-orang yang saya cintai menjadi penghalang. Menjadi makmur saat sudah udzur memang nampaknya menenangkan.Tetapi apa kita yakin tidak akan terikat dengan itu?

Kenapa kita harus tua, kenapa kita harus melepaskan satu persatu kemampuan kita, kenapa kita harus melepaskan anak-anak kita menjadi pribadi-pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Saya menerimanya sebagai suatu keadaan yang dibentuk untuk kepentingan kita sendiri.  Perlahan tapi pasti kita akan berpisah dengan semua ini, menyadari bahwa badan ini tak akan kekal.

Dan saya tidak ingin seperti kisah yang saya pernah saya dengar. Seorang yang hanya bisa tenang dengan menggenggam uang kertas saat sakratul maut menjemput. Naudzubillah minzalik.

Semuanya sudah diatur, jika kita meyakininya kenapa kita harus kuatir?

Why worry about TOMORROW, just live the best for TODAY 🙂

why-worry-about-tomorrow

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *