Antara Sendal dan Sepatu

Kadang penampilan jadi acuan, tapi acuan pun kadang berubah,

tergantung …

——
Suatu waktu saya ada urusan di kantor walikota Makassar. Saat itu memang saya meminta waktu agar bisa bertemu dengan pak Walikota untuk  menjelaskan beberapa kegiatan LUGU, Komunitas Pencinta Linux di Makassar

Dengan birokrasi yang berbelit-belit akhirnya saya mendapatkan jadwal untuk bertemu. Itupun saya mengusahakannya melalui beberapa jalur, berharap kemungkinannya bisa lebih besar. Jalur protokoler pribadi, jalur wartawan yang bertugas di kantor walikota, jalur humas bahkan jalur keluarga, semuanya dicoba.

Hampir dua minggu saya menunggu dan mengusahakan terus menerus untuk kesempatan itu. Dan akhirnya moment yg ditunggupun tiba. Saya mendapat sms dan diberikan waktu untuk bertemu.

“Ibu bisa ke kantor walikota sekarang untuk audiens?” , begitu sms dari protokoler walikota. Waktu itu kebetulan saya di tempat gym yang sudah jadi kegiatan rutin pagi hari, beruntung baju ganti yang saya bawa tergolong formal.

Setiba di kantor walikota saya duduk menunggu. Tidak jelas waktu dan urutannya. Kita memang harus sabar karena tiba-tiba saja bisa ada tamu lain yang menyalib. Bagi saya tidak masalah, saya sudah merasa ada progress

image by google

“Bu, bisa ganti sendalnya? Gak boleh menghadap kalau pake sendal bu”

Tiba-tiba bapak yang bertugas mengatur tamu itu menegurku, pantasan sedari tadi dia memandang terus ke arahku.
Heh?  Pak, ini bukan sendal biasa, ini sendal cantik dan berhak tinggi. Jawabku membela diri tapi sepertinya cuma suara dalam hati,  yang terucap justru;

“Duh bapak, saya gak bawa sepatu. Gimana dong”, jawabku memelas

“Yah pokoknya ibu ganti, nanti saya undur lagi waktunya”

Hmm sepertinya tidak bisa lagi bernegosiasi.

Sebenarnya saya berpikir apa yang salah dengan sendal cantik ini, tapi sudahlah saya harus menghormati aturan atau sistem yang diterapkan, kembali saya harus bersabar.
Karena tidak mungkin pulang ke rumah akhirnya saya berlagak borju, yang penting ada uang beli saja.

Akhirnya saya diterima kembali  dengan sapaan dari bapak itu.  “Nah gitu dong bu”, saya membalasnya dengan senyum secantik sepatu baruku.

Dengan sepatu inikepercayaan diriku bertambah. Saya tinggal menunggu giliran sambil berkonsentrasi dengan bahan yang akan saya sampaikan.
Tetapi tiba-tiba saya kaget dan terdiam. Seorang ibu, yang juga tamu, dengan santainya melenggang keluar dari ruangan pak walikota dengan memakai sendal, yang tidak lebih “sopan” dari sendal yang saya pakai tadi.

Loh.. Pak..?

Akhirnya saya  cuma bisa terdiam dan menatap bapak itu penuh arti.

Mungkin memang tidak adil, tapi yang pasti saya jadi punya sepatu baru.

 

19 thoughts on “Antara Sendal dan Sepatu

  1. hahaha..
    sendal memang tergantung siapa yang pake sih ya..
    kalo Bang Hasan pake sandal, menghadap walikotapun pasti ndak dilarang..

    tapi coba kalo kita pake sepatu sepatu bola, biarpun pake jins dan baju kemeja licin pasti tetap dilarang ketemu Walikota di kantornya..

  2. hahaha..
    sendal memang tergantung siapa yang pake sih ya..
    kalo Bang Hasan pake sandal, menghadap walikotapun pasti ndak dilarang..

    tapi coba kalo kita pake sepatu sepatu bola, biarpun pake jins dan baju kemeja licin pasti tetap dilarang ketemu Walikota di kantornya..

  3. aduuh, saya penasaran dengan tanggapan bapaknya itu bu? setelah ibu menatap penuh arti lalu bagaimana tanggapan si bapak? apakah menjelaskan sesuatu atau tidak merasa bersalah sama sekali atau bagaimana bu?…

    1. saya tidak paham lagi, apa mungkin beliau merasa atau karena sudah keseringan jadi dianggap biasa
      yah.. semoga gak ada lagi diskriminasi yang gak jelas alasannya, tapi mulai sekarang saya memang membiasakan memakai sepatu walaupun butut tidak secantik sendalnya ^^, Thanks yah sudah mampir 🙂

  4. aduuh, saya penasaran dengan tanggapan bapaknya itu bu? setelah ibu menatap penuh arti lalu bagaimana tanggapan si bapak? apakah menjelaskan sesuatu atau tidak merasa bersalah sama sekali atau bagaimana bu?…

    1. saya tidak paham lagi, apa mungkin beliau merasa atau karena sudah keseringan jadi dianggap biasa
      yah.. semoga gak ada lagi diskriminasi yang gak jelas alasannya, tapi mulai sekarang saya memang membiasakan memakai sepatu walaupun butut tidak secantik sendalnya ^^, Thanks yah sudah mampir 🙂

    1. Memilih pemimpin yang adil tanpa kepentingan memang susah, tapi tetap harus optimis kan. Thanks sudah berkunjung dan kasih komen 🙂

    1. Memilih pemimpin yang adil tanpa kepentingan memang susah, tapi tetap harus optimis kan. Thanks sudah berkunjung dan kasih komen 🙂

  5. Pingback: Hunter898
  6. Pingback: Casino Online
  7. Pingback: lawyer phuket
  8. Pingback: bonanza178

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *