Dari Lidah Turun ke Hati (proyek NOKOL AngingMammiri)

Aku paling suka makan coto. Nggak peduli orang mau ngomong apa, bisa bikin darah tinggilah, kolesterol lah… Alasan itu gak akan berpengaruh buatku.
Dikota kelahiranku ini, coto memang makanan favorit dan yang serunya baru enak dimakan disaat saat tertentu. Brunch, antara breakfast and lunch. Jam 9 sampai jam 11san. Coba aja jalan-jalan ke Makassar. Di waktu-waktu tersebut warung-warung coto pasti disesaki dengan pelanggan yang kelaparan di pagi menjelang siang itu.
Diantara semua tempat makan coto yang sudah aku kunjungi dan otomatis mencicipinya, gak ada coto yang seenak coto yang terletak di jalan Lamuru. Aku menyukainya bukan karena aku kebetulan tinggal di jalan yang sama, tetapi memang rasanya enak dan khas. Gak ada duanya deh. Aku ingat saat aku lagi ranum-ranumnya alias remaja, aku sering banget makan disana. Apalagi kalau weekend. Mobil bejejer di depan warung coto tersebut. Belum lagi yang datang, alamak cuakep-cuakep ding. Jadinya kalo ke sana sebenarnya sekali menggayung dua tiga pulau terlampaui. Puasin lidah dan puasin mata. Enak khan

********

Tit..tit..tit.., wah sudah pagi lagi. Aku bangun dengan perasaan malas. Capek! Kenapa yah setiap hari Senin bikin malas. Apa karena keenakan dengan liburan di hari Minggu?. Hhhh… Badan aku terasa berat banget, gak pengen beranjak dari rasa nyaman yg aku rasakan… “Di!… Dian! Bangun nak!”, suara lembut itu menyadarkanku. Ah mama, aku tertidur lagi yah. Kebiasaan yang gak bisa aku rubah dari dulu. Sepertinya aku harus lebih keras dan kokoh dalam memegang komitmen. Yah.. Komitmen yang ada padaku saat menyetel alarm untuk bisa bangun…. “Di!…ayo sayang jangan malas-malasan gitu donk ntar terlambat ke kantornya”

Hah! Seperti kena setrum aku kaget mendengar kata kantor. Alamak..ntar aku bisa ketinggalan bus kerja nih. Kalau udah gitu aku harus naik angkot disambung angkot jurusan lain lagi, trus jalan kaki? Tidak…!!! Bergegas aku ke kamar mandi dan cepat-cepat mengenakan pakaian seragam kantorku. Buru-buru.. semuanya serba diburu2. Heh.. Sekali lagi aku menyesal telah memanjakan diriku. Apa boleh buat.

Memang baru seminggu aku bekerja. Sebuah perusahaan besar yang katanya sih susah bisa bekerja disana. Aku adalah salah seorang yang beruntung bisa bergabung. Namanya perusahaan besar fasilitasnya juga lebih baik dari yang lain. Salah satunya yah bus kerja itu. Hitung-hitung aku bisa irit nabung buat nonton.

Ah… Hatiku berdebar-debar. Saat mendekati “halte” bus kerja ku. Apakah dia ada disana? Sudah menunggukah dia? Pakai baju apa dia? Bermacam-macam pertanyaan yang muncul dikepalaku. Sepertinya setiap detak jantungku diwakili oleh satu pertanyaan. Aku mencoba menenangkan diriku sambil menatap ke bawah, berusaha untuk tidak terpengaruh dengan sosok dia yang selama ini menarik perhatianku.
Hhhh….. Semangat yang aku miliki sepanjang jalan menuju halte menguap seketika. Sosok yang aku rindukan kehadirannya tidak ada disana. Ah.. Aku kecewa. Kukuat-kuatkan hatiku untuk bisa membangkitkan semangat itu lagi. “Ah.. Pasti ada sesuatu yang baru, yang menyenangkan yang aku akan dapatkan hari ini di kantor”.

Aku ingat pertama kali aku diperkenalkan oleh staf personalia, mengunjungi setiap ruangan sambil berkenalan dengan senior-senior. Aku ngaku, aku bukanlah cewek yang mempesona, tetapi begitu aku dikenalkan ke mereka, keadaan langsung heboh. Belum lagi diberi pengantar oleh staf personalia satu per satu sudah bersuara. “Namanya siapa? Tinggal dimana? Status… Status”. Wah yang namanya bersemu merah itu dah pasti. Karena semua sibuk bersuara, aku malah bisa membedakan dengan sosok yang diam dan seakan2 tidak terpengaruh dengan teman-teman lainnya.
Dia memang unik. Hal yang pertama menarik perhatianku adalah penampilannya. Gak seperti staf-staf yang lain. Dia kelihatan cuek dan pendiam.

Sebenarnya aku bukan cewek yang diam, manis dan yang bisa duduk tenang kalo liat cowok cowok yang cakep. Antene ku langsung berfungsi, sinyal sejauh dan selemah apapun dapat aku deteksi.. Hehehe sampe teman2 suka ngedorong aku kalo ada ‘barang antik’ yang menarik perhatian.. rada2 ngak punya malu kalo ngedekatin cowok katanya, mmm….. benerkah??
Ternyata tidak, begitu aku bertemu pandang sekilas dengan dia, hilang… semuanya hilang. Semua ilmu yang aku punya meluap dengan tiba-tiba. Aku langsung lemes.. gugup… blank… dan gelagapan. Padahal dia cuma memandang sekilas, ah gak.. melirik… ah gak juga, ternyata dia cuma ‘in a glance’ melihatku.. gak ada minat sedikitpun yang nampak dari gerak geriknya. Huhuhu… Kok bisa!! Mama tolong!!

Dengan agak berat aku naik ke bus. Pak Amat, supir busnya menyapa aku, “Slamat pagi non! Apa kabar?” Aku tersenyum dan sambil aku membalas sapaannya, aku memperhatikan sosok pak Amat. Lelaki sederhana yang aku yakin setiap pagi harus bangun lebih cepat dari aku untuk bisa menunaikan tugasnya.

Saat duduk dikursi bus di belakang pak Amat, aku terus memandangi punggung nya. Aku membayangkan betapa berat beban yg dipikulnya. Dari temen kantor aku dapat info bahwa dia telah ditinggal sama istrinya yang pergi tanpa alasan. Benar atau tidaknya cerita itu aku gak mau peduli. Yang aku pedulikan adalah kenyataan dimana dengan keadaan seperti itu tidak terlihat sedikitpun kesusahan yang tergurat di raut wajahnya. Setiap orang yang naik ke busnya disapa dengan senyum tulus.

Ah… Aku jadi malu. Baru sepenggal kenyataan yg kutemui pagi ini sudah membuatku down. Gak ada apa apanya dibandingkan keadaan Pak Amat. Tapi lihat saja, dimana orang lain menganggap dia susah, ternyata aku malah merasa dia ‘menikmati’ hidupnya. Ah… Harusnya aku belajar dari beliau.

Tiba di kantor, aku tetap berharap bisa bertemu dengan dia. Berharap semoga dia hanya terlambat sehingga gak sempat ikut naik bus. Detik detik berlalu sampai jam masuk kantor, dia tetap gak muncul. Pupus sudah harapan aku berharap bertemu dengannya hari ini. Namun aku teringat dengan senyum pak Amat. Semangat beliau membuat aku sedikit berhasil menghalau kekecewaan yang mungkin sangat tidak pantas aku miliki dalam waktu dimana aku harus menjalankan tanggungjawabku. Tanggungjawab sebagai karyawan, yang harus menempatkan kerjaan jadi prioritas utama di rentang waktu 8 to 5 tersebut.

Aku mulai sibuk, banyak yang aku harus pelajari untuk bisa menjalankan tugasku dikantor. Untungnya mbak Rina baik hati. Selalu dengan kesabarannya membimbing aku melaksanakan tugas-tugasku. Seharusnya aku nggak memanggil dia dengan sebutan mbak. Selain dia bukan orang Jawa, usianya pun gak terpaut jauh dengan aku.. Aku lahir di tahun yang sama, namun dia mendapat kesempatan lebih dulu bergabung di perusahaan ini daripada aku.

Mbak Rina orangnya manis, sederhana dan baik hati. Masih jomblo, ngakunya ke aku. Entah apa maksudnya tapi aku menganggap sebagai sinyal dia untuk membuka diri, untuk bisa lebih akrab dengan ku.

Kr..kr..kr.. Aduh… Otot lambungku berkontraksi minta diisi. Huh.. Gara gara kebiasaan nih makan coto depan rumah, akhirnya jam segini perut minta diisi. Wah terbayang-bayang di depan mata jeroan sapi yang aku suka, terbayang sambelnya yang pake tauco, terbayang kuahnya yang sedap dan hangat, terbayang ketupatnya….. Gubrak!!!

Astaga!! Ada apa nih. Aku kaget sekali. Seseorang meletakkan buku di hadapanku yang menurutku agak kasar sehingga menimbukan suara keras yang membuat bayanganku hilang seketika. “He! Kalo kerja tuh jangan melamun, apa bisa kerja yang baik dengan cara begitu!”. Suara itu… Aku gak berani mengangkat wajahku. Pasti dia, gak salah lagi. Seminggu ini sejak aku diperkenalkan ke staf lama, aku suka memperhatikan suaranya. Sekat yang ada gak mampu meredam keinginanku untuk mengenali vokal itu. Dan.. pria pemilik suara itu, yang aku gak berpikir datang ke kantor hari ini.

Begitu aku punya keberanian yang telah aku himpun detik demi detik, kepala aku dongakkan dan aku menemukan tatapan tajam dari matanya. Seolah menghujam jantungku.. Lemas… Aku jadi lemas.
“Iya, kak! Maaf.. Maaf!”, suaraku bergetar gak keruan. Baru kali ini aku dengar suaraku pake vibra, biasanya malah kalo nyanyi dipaksain keluar juga gak mau.
“Kasihkan buku ini ke Rina, aku dari tadi cari dia tapi gak ketemu!” Sahutnya, masih dengan suara tajamnya.
“Ba..baik..kak!!”, halah… Aku jadi gagap. Kok bisa..sefatal ini? Kacau. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, dia sudah berlalu begitu saja begitu cepat. Aku mulai terasa gerah… Aku keringatan tapi bukan karena makan coto. Aku gak yakin dia mendengar kalimatku yang terakhir. Perasaanku campur aduk, ada kaget, jengkel, senang, marah dsb.dll. Aduh…nih orang… menghilang bersama dengan rasa lapar yang tadi aku rasakan padahal aku belum makan apa apa. Hiks….

Valentino Rory, nama yang aneh. Aku yakin gak ada hubungannya dengan Valentino Rossy si pembalap motoGP itu. Soalnya satu orang Malino yang satunya lagi orang Milano. Wah.. Ternyata ada juga kemiripannya yah. Aku geli sendiri mencoba menganalisa namanya. Tapi apa benar dia orang Malino, tempat yang aku tahu sangat sejuk dengan hutan cemaranya yang rimbun? Kok bisa namanya seperti itu yah? Aku tetap penasaraan. Penampilannya agak ‘berantakan’ tapi tetap enak dipandang. Jumat kemarin malahan datang dengan jeans yang sobek, anting di satu telinga dan pake songkok haji. Halah…nyambungnya dimana kemana? Gak ngerti. Tapi yah itu tetap aja enak di pandang. Hmmmm
Denger-denger dia manager kesayangan boss, kerjanya sih di bagian umum. Membernya lumayan banyak, dari protokoler sampai office boy. Hehehe untungnya member dia gak ngikutin gayanya, bisa-bisa kantor ini keliatan jadi tempat kongkow-kongkow anak muda.

Selain penampilan fisiknya, aku juga melihat dia disegani dengan membernya. Apa karena kurang ngomong yah? Yang pasti dia jauh dari kesan jaim. Beneran! Aku sungguh kagum sama dia. Dia gak keberatan berkotor-kotor dengan tukang taman kantor, gak pernah aku melihat manager yang kayak gini. Yah iyah lah… Wong baru kerja kok hehehe. Tapi beneran aku kagum sama dia.

Setelah kejadian yang mengejutkan itu, terus terang aku jadi kurang bisa berkonsentrasi dengan kerjaan. Untunglah mbak Rina datang dan mencairkan suasana hatiku. “Di.. nonton yuk, film Ghost Rider udah diputar tuh”. Ajak mbak Rina. “Kapan mbak? Ntar malam?”, tanyaku. “Iyah.. Temen temen dah pada berencana tuh, kita jalan bareng2 aja nanti ketemuan di lobby studio. Kumpul duit buat karcisnya sama aku, ntar aku yang beliin semuanya”. Aku senang, ini bisa menjadi salah satu moment dimana aku bisa mengakrabkan diriku sama teman-teman kantor. Sekilas terbetik harapan semoga kak Valent ikut nonton nanti, tapi ah.. sudahlah. Setelah apa yang aku alami tadi aku jadi gak ingin berharap lebih jauh.

Jam 6 sore, aku sholat maghrib. Setelah sholat aku bersiap-siap untuk pergi. Bingung juga sih naik apa bagusnya yah? Sepertinya aku masih punya waktu jika naik becak ke studio. Ah kepikiran ke Daeng Bora, tukang becak yang selalu stamplas di depan rumah. Mudah-mudahan dia gak sementara mengangkut orang lain. Aku suka naik becaknya karena tempat duduknya yang super empuk. Becak yang jumlah per-nya melebihi mobil, seandainya per keong murah pasti Daeng Bora memasang di becaknya. Dia adalah tipe tukang becak yang suka jika penumpangnya senang. Tapi mungkin karena investasi untuk kenyamanan itu lumayan dibandingkan becak-becak yang lain, tarifnya pun jadinya diatas rata-rata. Sangat profesional! Walaupun skala kecil tetapi patut di contoh, iya khan.

“Nona, la kemaeki’?” <Non, mau kemana?> Daeng Bora bertanya ke aku dengan suara khasnya. “Ke Mall Panakkukang Daeng, moka nonton”, jawabku. “Naik maki nona, kalekalengta’?” <Silahkan naik nona, sendirian saja?> tanyanya lagi. “Iye’ Daeng, sendirian ja'”.
“Edede, ka baji’ injo punna nia’ mo bayuang ta’ kulleki’ na antara’ kemae ki erokki” <wah, akan bagus kalo kamu dah punya pacar, bisa ngantar kemana pun kamu inginkan>.ocehnya lagi. Daeng..daeng… Bukannya cuma menjamin becaknya nyaman bagi penumpang, daeng Bora juga menjamin tidak akan membiarkan penumpangnya melamun selama masih bersama dia. Aku tersenyum senyum sendiri. Akhirnya aku ngomong, “Daeng, kalo ada pacarku, nda kunaiki mi itu becak ta'”, pernyataan yang aku buat agar dia berpikir untuk menarik kembali kata-katanya. “Passangmi, rannu tonja’ punna ku cini’ ki siagang bayuanta'” <gak apa apa, aku akan senang jika melihat kamu dah punya pacar> sahutnya. Waduh… Bingung aku, dia rela kehilangan kesempatan dapat duit hanya untuk liat aku bahagia? Beh.. Jangan..jangan.. aku anak Daeng Bora. Sembarangan….. makin kacau nih roda-roda mesin otak ku. “Ah Daeng bisa aja…!”, aku cuma mampu menjawab sepenggal kalimat itu ke dia.

Braakkkk!!! Kubanting pintu kamarku dengan keras. Aku tahu mama sangat tidak senang dengan kelakuanku itu. Namun sepertinya aku memang gak bisa menahan diri untuk tidak melampiaskan kekecewaanku.
Kumpul-kumpul nonton mencari kesenangan ternyata gak aku dapatkan. Malah kepedihan hati yang sangat, kekecewaan yg gak terkira.

Ternyata, kak rory ada hubungan dengan mbak Rina. Huh… !! Aku kok tiba2 membenci nama itu. Orang yang selama ini aku anggap yang selalu membantu aku, hadir dengan wujud berubah di penglihatanku. Aku gak bisa menyeimbangkan antara rasio dan rasa. Huh.. ternyata semua dah diatur, aku masih ingat mbak Rina ngomong ke aku, “Di, kamu di 4F yah, teman2 juga satu baris kok, cuman karena gak cukup aku dan Rory di baris G yah”.. Pantasan dia mau sibuk-sibuk membeli karcis, huh ternyata ada maunya. Seketika hilang rasa suka ku ke dia. Aku coba menghilangkan penggalan-penggalan kejadian yang tadi terjadi, tetapi gak berhasil. Yang aku ingat malah pesona kak Rory makin membuatku penasaran. Dengan gaya cueknya, dengan jaket kulitnya dengan sepatu bootsnya. Ah.. Sepertinya aku cuma bisa mengagumi aja, aku gak bakal bisa memilikinya. Hah?! Memiliki?.. Ah aku jadi malu… kok bisa kepikiran kesana. Gak lah! Aku menghibur diriku sendiri.

******
Pagi ini seperti biasa aku ke ‘halte’ bus kantorku. Agak cepat dari biasanya. Semalam karena aku sholat aku jadi tenang. Toh aku yakin apapun yang terjadi itu adalah kehendakNya. Ah… Aku yang pertama rupanya, bakal bengong nih. Untung aku bawa buku, “blink” hadiah dari kakak waktu aku diterima kerja. Keasyikan aku baca buku tiba-tiba aku ditegur. “Dari tadi?” Oh suara itu. Aku mengangkat kepalaku dan memandangnya. Kak rory, dengan balutan seragam kantor yang kasual, dan topi. Ah segar sekali kelihatannya. Aku tersenyum, berusaha menahan getaran hatiku agak tidak terlihat olehnya. Toh aku saat ini berusaha mematikan harapanku tentang dia. “Lumayan kak!” Sesaat kebisuan melingkupi. Aku gak tau mau bicara apa. Otakku sibuk me-listing bahan pembicaraan yg pantas. Sambil aku melirik ke dia yang masih berdiri di depanku. “Bisa aku duduk disini?”, dia menunjuk tempat disampingku. “Oh bisa kak”, aku bergeser dan memberinya ruang. Ah.. Hening lagi. Sepertinya dia kembali dengan ‘kecuekan’ nya. Aku sibuk menata debaran yang ada dalam diriku. Ritmenya gak keruan.
Untunglah teman-teman sudah mulai datang, dan mereka seakan-akan mencairkan suasana yang kaku. Heh… Aku mulai bisa bernapas lega, jantung yang berdebar-debar.

“Di, dipanggil boss tuh!”,kata mbak Rina. Hah aku?! Ada apa nih?! Seketika pikiran ku yang sedari tadi fokus sama kejengkelanku sama mbak Rina berganti tiba tiba.
Dengan perasaan was-was aku mendekati pintu pak Hendra, presiden direkturku. “Ya!, masuk!!”, suara pak Hendra terdengar menjawab ketukanku.
“Selamat pagi Bapak”, sapaku. “Selamat pagi, ayo duduk”, sambil berjalan mengarah ke sofa. “Terima kasih, bapak”. sahutku masih dengan suara tertahan karena segan.
“Di, beberapa hari ini bapak perhatikan kerja kamu bagus, dan keliatan tekun sekali”, pak Hendra membuka percakapan. Hah?! Aku?! Sejak kapan juga pak Hendra memperhatikan aku? Masih dalam kebingungan aku menjawab gugup, “Ng… Saya masih harus banyak belajar bapak”. “Iyah, kamu memang harus banyak belajar tapi bapak melihat kamu punya potensi untuk menjadi lebih baik”. Aku tertunduk sambil mengangguk kecil. “Bapak butuh sekertaris, dan bapak memilih kamu”. Hah!!! Bagai disambar petir aku kaget setengah mati. Belum juga dua minggu aku kerja trus ditawarin jadi sekertaris presdir. Gak pake perantaraan HRD lagi. Aduh tolong, aku kalut

“Bagaimana?”, pak Hendra menyela diantara semrawutnya pikiran yg ada di otakku. “Bapak, sebagai karyawan aku siap ditempatkan dimana saja, tapi bapak sekali lagi aku masih harus banyak belajar, aku masih belum berpengalaman”, Memang sekertaris pak Hendra baru aja resign 3 hari yang lalu katanya sih mau menikah. Tapi sama sekali aku tidak menyangka pak Hendra akan memintaku jadi sekertarisnya.
“Gak apa apa, nanti kalau dalam pelaksanaan banyak bertanya sama bapak aja, toh intinya kamu melayani kebutuhan bapak khan”, sahut pak Hendra. Melayani kebutuhan?? Apa maksudnya? Belum lagi aku mencoba mengira2 jawabab dari pernyataan itu aku mendengar lagi suara pak Hendra. “Mulai besok kamu bukan di bagian keuangan lagi, tapi meja kamu sudah di depanku. Sebentar aku minta HRD mengurus promosimu”. Antara bahagia dan was-was aku menyambut salaman pak Hendra. Tangan pak Hendra hangat.. Ah bukan tanganku yang dingin. Dan aku pamit dengan ucapan terima kasih, yah itu saja yang bisa keluar dari mulutku.

to be continued….

24 thoughts on “Dari Lidah Turun ke Hati (proyek NOKOL AngingMammiri)”

  1. I may need your help. I tried many ways but couldn’t solve it, but after reading your article, I think you have a way to help me. I’m looking forward for your reply. Thanks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *