Berdamai dengan Covid-19

Terlambat sebenarnya saya menuliskan ini, tetapi mending lambat dari pada tidak sama sekali bukan?. Sekarang ini sudah memasuki gelombang kedua pandemi Covid-19 di Indonesia. Saya masih di Jakarta dan tidak bisa berkegiatan di luar rumah akibat banyaknya saudara-saudara kita yang terkena Covid-19 di Indonesia.

“Ada seratusan orang yang kena di kementrian bu, termasuk pak Direktur”, kata salah seorang kasubdit di salah satu kementrian yang terletak di jalan Gatot Subroto, Jakarta. Belum lagi seorang teman menghubungi. “Li, kamu punya oksigen? Adik saya di Jakarta kena covid dan saturasinya 90, dadanya sesak,” otomatis saya ikutan panik. Saya menghubungi kakak saya yang di Bekasi menanyakan soal tabung oksigen yang dipakai oleh almarhumah mama sewaktu sakit. Alhamdulilah masih ada, tetapi belum tahu apakah masih ada isi atau tidak. Nantilah pikirku. 

Panik? Iya pasti. Sama seperti paniknya saya waktu mendapat Surat Keterangan hasil swab PCR yang saya lakukan di bulan Pebruari beberapa bulan yang lalu. Dugaannya saya terkena saat perjalanan dari Jakarta ke Makassar saat itu. Kondisi pun lagi tidak dalam keadaan fit. Karena saya ingin pulang ke Makassar menemui Daeng Ipul yang juga datang ke Makassar dari Jayapura. Rupanya kangennya berbuah yang lain. Covid juga ikutan hadir. Beruntung hanya saya yang kena dan harus mengisolasi diri di Hotel Swiss-Bell di Makassar. Isolasi di hotel ini adalah program Wisata Covid yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sejak covid hadir di Indonesia. 10 hari saya menghabiskan waktu di hotel tanpa interaksi, seorang diri. Keluar kamar hotel hanya pada saat pagi yang cerah untuk berolah raga, jika hujan saya berada di dalam kamar hotel sepanjang hari.

Lalu apa yang saya dapatkan dari kebersamaan saya dengan covid ini? Beberapa catatan yang mungkin bisa menjadi bahan untuk berbagi.

1. Jangan Panik

Asli ini sikap yang paling utama. Harus realistis bahwa virus covid bisa masuk dalam tubuh semua manusia. Tergantung daya tahan tubuh dan banyaknya virus yang bertebaran di luaran. Keduanya bisa kok diidentifikasi. Contohnya kalau sudah merasa lemas, janganlah berkegiatan di luar rumah atau mengunjungi tempat publik dan bertemu dengan orang yang mungkin saja baru bertemu dengan orang lain. Kemudian untuk banyaknya virus covid di luaran bisa kita dapatkan melalui informasi berapa banyak yang terinfeksi. Apakah menanjak naik atau datar saja. 

2. Periksakan diri dengan Swab Antigen atau PCR

Jangan sampai keraguan melanda. Pemeriksaan penting untuk melakukan tindakan selanjutnya. Tapi benar juga kadang kita denial, tidak mau menerima kalau kita ini kemungkinan kena covid. Akhirnya menunda-nunda padahal gejala itu sudah ada. Begitu saya merasa tenggorokan gatal dan badan rasanya tidak nyaman, saya segera melakukan test PCR. Saya ingat waktu itu belum ada swab antigen, PCR pun butuh waktu untuk hasilnya, mana saat itu weekend pula, semua rumah sakit tidak melayani swab PCR. Alhamdullilah saya bisa test di mobil lab PCR yang dimiliki oleh Pemprov Sulsel. Malam Minggu swab hasilnya hari Minggu siang. Dan saya segera mengisolasi diri untuk menghindarkan orang lain di sekitar saya terkena.

3. Lakukan Pengobatan

Saya mengumumkan keadaan saya melalui media sosial. Tujuannya adalah untuk menyampaikan ke teman-teman yang beberapa hari sebelumnya bertemu dengan saya. Supaya dapat memeriksakan dirinya tetapi saya tetap berharap semua baik-baik saja. Dan melalui media sosial juga, semua teman-teman sudah menjadi seperti dokter atau ahli covid. Semua resep yang membingungkan saya terima. Dengan rasa kesyukuran dalam hati bahwa mereka tetap memperhatikan saya. Tetapi bagi saya pengobatan yang terpercaya adalah pengobatan yang dilakukan oleh tim medis yang telah berpengalaman menangani penyakit ini. Di hotel tempat isolasi tim medis juga disiapkan. Setiap sore mereka datang memeriksa keadaan masing-masing orang yang sedang diisolasi. Antibiotik, Antivirus, obat batuk dan vitamin lengkap. Ini adalah obat yang saya dapatkan dari tim medis. Mungkin orang lain resepnya juga berbeda, tergantung gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Jadi sebaiknya jika memang terkonfirmasi positif covid sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Minum yang hangat dan ramuan tradisional penting juga untuk mempercepat penyembuhan.

4. Lakukan olah napas dan berkegiatan agar tidak bosan

Beruntung wifi tetap ada. Selain masih bisa bekerja walaupun tidak maksimal, sisanya digunakan tidur-tiduran di kasur sambil nonton Netflix. 10 seasons serial Friends yang sebenarnya sudah saya tonton, akhirnya saya tonton lagi. Satu-satunya serial komedi situasi yang benar-benar bisa menghibur saya. Matras yoga juga kadang saya gunakan tetapi tidak maksimal. Satu kekurangan saat itu adalah kamar yang saya tempati tidak memiliki perputaran udara. Mungkin ini perlu jadi pertimbangan kalau teman-teman isoman. Sangat penting berinteraksi dengan udara yang segar. Untungnya masih diperkenankan setiap pagi ke lapangan dan bisa menghirup udara pantai sepuasnya. 

5. Masa hidup virus covid

Dengan beredarnya keputusan dari Kemenkes berkenaan dengan aturan isolasi mandiri. Saya melakukan isolasi sampai 10 hari saja. Di mana 10 hari dianggap virus tersebut sudah mati. Tidak lagi berada dalam tubuh. Apalagi saya tidak memiliki gejala yang berat. Yang masih memiliki gejala seperti batuk atau sesak, masih harus melalui empat hari lagi. Tidak akan dilakukan test PCR lagi, karena secara medis memang terbukti bahwa setelah 10 hingga 14 hari, virus tersebut tidak lagi berpotensi menyebar alias sudah mati.

6. Adaptasi post covid

Mungkin tidak semua orang merasakan ini. Tetapi bagi saya penurunan stamina setelah covid itu terasa. Saya merasa cepat lelah, malas berbicara dan tidak bersemangat. Sebulan pertama setelah saya isolasi mandiri gejala ini terasa. Untuk meyakinkan bahwa covid tidak meninggalkan apa-apa di tubuh saya, saya melakukan X-Ray Photo untuk Thorax PA (CR) yang gunanya untuk mengecek apakah paru-paru saya baik-baik aja. Alhamdullilah tidak ada tanda tanda yang mengkhawatirkan. Saya mulai melakukan olah raga walaupun tidak berat, minum vitamin dan madu jadi rutin. Dan yang pasti berusaha untuk tetap bahagia sehingga tubuh bisa menjadi sehat.

7. Antibodi

Sebulan setelah terkena covid saya ke laboratorium untuk mengecek secara kuantitatif apakah saya memiliki antibodi yang terbentuk secara alami akibat perlawanan tubuh terhadap virus covid. Alhamdulilah nilainya 134, nilai yang sebenarnya dianjurkan untuk dapat mendonorkan darah kepada saudara-saudara yang memerlukan antibodi dalam bertarung melawan covid. Tetapi sayangnya saya tidak muda lagi. Sebagai wanita dan sudah melahirkan sudah tidak masuk dalam kategori pendonor. Apalagi HB darah saya juga rendah. Di bulan Mei yang lalu saya kembali memeriksa antibodi di lab rumah sakit di Bekasi. Ternyata nilainya > 250. Mungkin saya harus menunggu hingga empat bulan kemudian untuk vaksin jika antibodi tersebut sudah menurun.

7. Protokol Kesehatan dan Hidup Sehat

Dengan antibodi demikian apakah saya santai? Tidak demikian. Saya semakin waspada dalam menerapkan protokol kesehatan. Minum suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh, dan selalu berusaha untuk merasa bahagia. Antibodi tidak menjamin 100%. Dan jika pun menjamin untuk keselamatan diri bisa saja kita tetap menjadi pembawa virus bagi orang lain. Lagi pula mending vaksin deh daripada divaksin sendiri oleh virusnya. Rasa tidak nyaman saat bernapas, batuknya bukan seperti batuk biasa, tidur pun tidak nyenyak selama si virus masih hidup bersama kita. Jadi tetaplah setia dengan menjaga imun, menggunakan masker dan mencuci tangan. Menghindari kerumunan dan jika bertemu tetap menjaga jarak. Ini adalah cara yang terbaik dilakukan untuk saat ini.

8. Berserah Diri

Ini mungkin pengalaman spiritual saya saja. Selama sakit saya sudah merasa bahwa kemungkinan terburuk adalah kembali ke Sang Khalik, pemilik roh ini. Tingkat kepasrahan saya sudah tinggi, alias bersiap dengan kondisi yang tidak kita pahami karena virus ini menumpang hidup di diri kita. Tetapi saya merasakan bahwa kepasrahan ini membuat saya lebih tenang dan bisa melalui setiap hari dengan menerima setiap keadaan yang dirasakan. 

Semoga pandemi ini cepat berakhir dan masing-masing kita mendapatkan pelajaran berharga. Semoga yang sedang sakit segera disembuhkan dan yang tidak sakit tetap menjaga diri dan menjaga orang lain untuk tidak ikutan sakit.

Tetap sehat, Stay at Home

Doktrin Agama dalam Kehidupan Saya

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan yang terjadi di Sibolga, Sumatera Utara beberapa hari yang lalu. Seorang ibu dan anak-anaknya berada dalam kepungan polisi yang berusaha membujuknya untuk menyerahkan diri. Dia bukan sumber dari permasalahan yang terjadi. Menjadi bagian dari keadaan tersebut mungkin takdirnya. Mungkin juga adalah jalan yang dipilihnya. Saya sedih membayangkan bagaimana anak-anaknya yang tidak mengerti pun ikut sebagai korban akibat keputusan ibunya. Mungkin saat itu tidak ada lagi pikiran jernih. Atau mungkin bagi istri terduga teroris ini malahan itulah pikiran yang sejernih-jernihnya, karena kabar yang terkini yang beredar adalah dia sudah menjadi ahli dalam membuat bahan peledak, dan meyakini bahwa bom bunuh diri adalah jalan yang tercepat untuk mencapai surga.

Apakah surga itu sebenarnya? Apakah benar itu yang akan kita tuju? Suatu tempat ataukah keadaan? Sampai sekarang saya tidak bisa percaya bahwa saya akan ke surga jika menciptakan neraka bagi orang lain.

Saya paling ngeri terhadap doktrin atau paham-paham yang bagi saya tidak dapat saya olah dengan akal saya. Sebagai seorang perempuan, saya merasa lebih banyak menggunakan logika daripada perasaan. Pengalaman hidup yang saya lalui memang tidak mudah dalam menghadapi konsekuensi doktrin agama ini. Dan itulah juga yang membuat saya tetap mencari nilai spiritual yang merupakan pengalaman pribadi dan hak saya sendiri. Walaupun dengan itu banyak yang harus saya korbankan. Tapi itulah pilihan.

Yang menakutkan adalah bagaimana doktrin ini bisa dengan mudah masuk ke dalam diri kita. Saya mengidentifikasinya sebagai berikut

1.  Kelompok yang homogen

Pada kelompok yang homogen, membuat kita dapat merasa lebih baik daripada orang lain. Saya ingat ketika saat saya masih ikut dalam kegiatan-kegiatan agama yang tidak dapat saya tolak karena alasan keluarga dan lingkungan. Informasi-informasi mengenai agama lain sangat diproteksi. Jika tidak langsung disebut bahwa itu adalah kesalahan, sehingga kita tidak punya keberanian untuk mengeksplorasi informasi tersebut

2. Imam atau pemimpin

Pimpinan kelompok punya peran besar dalam mempengaruhi anggotanya. Keyakinan yang dimiliki haruslah lebih besar dari anggotanya sendiri. Memang pemilihan sosok pemimpin ini adalah karena kelebihannya. Tetapi bagi saya semua orang punya motivasi dalam melakukan sesuatu. Dan motivasi ini penting bagi saya sehingga saya tidak mudah mengiyakan apa yang dikatakan orang. Saya tidak akan mudah mengagungkan seseorang, tetapi adalah pemikiran dan tindakannya yang akan saya contoh jika saya merasa itu yang harus saya ikuti.

3. Ketakutan

Satu yang paling jelas pada kelompok yang menggunakan doktrin untuk kepentingan apapun menjual ketakutan. Jika takut orang pasti akan melakukan apa saja. Surga dan neraka, dosa dan pahala semua membuat kita menjadi  harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena asbab itu. Bagi saya adalah penting menganalisa setiap tindakan dan indikator yang saya gunakan adalah manfaat dan mudharat. Bagi saya itulah dosa dan pahala atau bahkan surga dan neraka. Saya tidak akan melakukan sesuatu dengan alasan imbalan tersebut. Untuk itu urusan Sang Pencipta dan saya tidak ingin melakukan sesuatu atas dasar ketakutan. Tetapi resiko terhadap tindakan sangat penting untuk disadari sehingga itu yang menghindarkan saya dari berbuat sesuatu yang merusak.

4. Refleksi

Memperbanyak refleksi adalah cara menghalau paham yang baru bagi kita. Adalah hak diri sendiri untuk menentukan jalan, ini bagi orang yang berani keluar dari 3 hal yang sudah saya sebutkan di atas. Diperlukan pembelajaran yang lebih banyak sehingga berbagai refernsi membuat kita lebih yakin dalam memilih sesuatu. Akal sudah dikaruniakan untuk kita sehingga saya tidak kuatir jika itu yang menjadi alat yang sudah disediakan pada manusia yang merupakan kelebihan dari mahluk hidup yang lain.  Selain itu perlu keberanian dan siap dengan resiko untuk mengambil tindakan jika tidak sesuai dengan kesimpulan yang kita dapatkan dan kita yakini.

Saya belajar untuk tidak menilai sesuatu itu baik atau buruk, saya akan memilih sesuatu yang menurut diri nyaman untuk saya jalankan dan memberikan kenyamanan dan kebahagiaan dalam diri saya. Apa yang saya pilih adalah bukan berarti yang terbaik dan yang lain adalah buruk. Selama saya bisa membuat diri saya dalam keadaan nyaman itulah saat saya berbagi dan bisa bermanfaat untuk mahlkuk ciptaan Tuhan yang lain.

Semoga saya tidak termasuk dalam kelompok yang ketakutan dalam menjalani hidup. Apa yang menjadi aturan dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan sudah tak dapat ditolak. Tinggal bagaimana saya saja menjalaninya dengan penuh kesyukuran. Kalau memang mau kiamat seperti yang digembar gemborkan di satu daerah di Jawa Timur itu terjadi, hijrah kemana pun juga akan sama. You can not run away from what will happen to you. Just embrace it.

Dua Kata yang Paling Saya Benci

Pernahkah merasa sangat benci dengan kata-kata tertentu? Mungkin iya, misalnya kata yang bersifat umpatan atau makian. Walaupun saya dibesarkan dalam lingkungan pergaulan yang tidak terbatas, tidak berarti saya menerima semua perkataan orang lain atau bahkan mengadaptasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti ibu saya, beliau sangat suka mengumpat, mungkin itu dirasakan sebagai kesenangan bukan untuk umpatan yang mengutuk orang lain. Tetapi apapun maksudnya, kata yang diucapkan bagi saya sangat tidak menyenangkan. Saya bahkan mengatakan langsung ke ibu saya, cenderung bersifat mengingatkan bahwa itu kurang pantas.

Tapi bukan kata umpatan yang ingin saya bahas di sini, tetapi kata yang sering sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Awalnya saya pun tidak menyadari kata-kata ini tidak baik saat digunakan. Tetapi lama kelamaan, saya makin menyadari kerugian menggunakan kata-kata ini.

Saya kira….

Satu momen baru terjadi tidak lama ini. Saya memberitahukan kepada rekan kantor untuk menyampaikan kepada seorang driver agar menjemput saya jam 10 pagi. Saya tahu kendaraan tidak digunakan saat itu karena jadwal jemputan ke bandara adalah pukul 12 siang. Kekeliruan saya adalah tidak menyampaikan langsung sehingga tidak terjadi komunikasi yang efektif antara saya dan sang driver.

Waktu sudah menunjukan pukul 10 pagi. Saya bergegas karena merasa yakin akan segera dijemput. Namun ternyata setelah lewat 20 menit saya jadi ragu. Akhirnya saya menelpon langsung ke driver yang dimaksud.

“Pak I, sudah disampaikan bahwa jemput saya jam 10 ini pagi?,” tanyaku dengan nada yang sedikit meninggi.

“Sudah bu, tapi saya kira ibu mau ikut ke Bantaeng, jadinya sekalian saja setelah dari bandara baru saya ke rumah ibu.”

Satu kata yang membuat darah saya mendidih, Saya kira…

Bagi saya, penggunaan kata kira ini saat menjalankan tugas adalah bentuk kemalasan dan ketidak pedulian. Mengapa demikian?

Jika benar ada perkiraan, berarti sesuatu yang tak pasti berkecamuk dalam pikiran kita. Jika kita peduli dan mau berusaha pastilah kita akan mencari informasi untuk mengubah perkiraan menjadi kepastian. Apalagi dengan waktu yang masih panjang yang dimiliki oleh driver yang tidak berkegiatan apa-apa

Briefing online berlanjut, dengan kejadian ini saya sudah menyatakan tidak akan mendengar kata kira dari teman-teman yang satu tim dengan saya. Dengan demikian saya berharap semua dapat berlatih untuk peduli dan tanggap terhadap sesuatu yang masih meragukan

Seandainya…

Kata kedua adalah seandainya, atau kalau dalam bahasa Makassar sehari-hari kita biasa dengar dengan istilah “cobanya”

Kenapa saya membenci kata ini? Kata seadainya membuat kita tak berdaya dengan keadaan saat ini. Ini sama saja dengan memaksa kembali ke masa lalu dan mengubah keadaannya saat itu, yang mana bagi saya adalah mustahil.

Sudah berapa orang yang saya langsung koreksi begitu mendengar kata seandainya.

“Bu, boleh bantu untuk bagaimana caranya supaya saya dapat membeli paket Indihome tanpa harus ke Plaza? Soalnya ini atas nama suami dan dia lagi di luar daerah. Saya kuatir saya datang pun akan disuruh pulang karena bukan saya yang mendaftarkan pemasangannya. Atau minimal saya tahu persyaratan supaya saya bisa persiapkan sebelum saya ke Plaza.”

Panjang sudah pertanyaan dan pernyataan yang saya buat demi si ibu bisa menangkap kebutuhan saya.

“Aduh dek, cobanya kita hubungi tadi siang, saya bisa bantu.”

Glek!

Saya lebih senang jika si ibu bilang, “aduh maaf dek, saya sepertinya tidak bisa bantu.” Kalimat ini terasa lebih melegakan dibanding menggunakan “cobanya”

Ini seperti mengiming-imingkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Memberi harapan palsu yang kenyataannya sudah pasti tidak akan terwujud.

Mungkin memang cuma kata-kata, tapi bagi saya diksi, atau pilihan kata sangat penting untuk membentuk sikap mental dari masing-masing penutur.

Jadi kesimpulannya, sebisa mungkin saya hindarkan penggunaan kata ini. Dan jika ada diantara teman yang mengucapkannya, saya dengan senang hati akan menjelaskan dan memberikan alasan kenapa saya tidak ingin kata itu digunakan

Jika Peduli Matikan Handphone!

Seberapa banyak sih kepedulian kita dengan keselamatan kita bersama?

Dalam perjalan menuju ke Jogja baru-baru ini, saya jadinya harus mengomel dalam hati melihat seorang ibu yang sudah di atas lima puluh tahunan tetapi mungkin baru senang senangnya menggunakan gadget. Saat penerbangan di atas pesawat, mungkin karena bosan dia mengambil telepon pintarnya. Saya tepat duduk di bagian belakang sisi kanannya. Saya mulai berpikir, menyalakan telepon genggam pada saat pesawat mengudara mungkin akan memancarkan signal. Semoga bisa langsung dia mengubah ke mode pesawat. Tapi dugaan saya salah. Saya masih saja kepo dengan memperhatikan setiap gerak geriknya, dan benar saja, notifikasi WhatsApp di baris paling atas handphone-nya mulai mengganggu saya. Saya tidak menegur karena tidak berapa lama pilot sudah mengumumkan untuk persiapan mendarat, handphone dimatikan kembali.

Di posisi tempat duduk yang sama, karena saya memang suka memilih untuk duduk di lorong, pada saat penerbangan pulang  ke Jakarta, seorang anak gadis juga mengganggu konsentrasi saya. Dia asik mengetik di handphonenya,  sepertinya dia tidak sedang menulis catatan atau semacamnya, tapi dia chating! Minta ampun gondoknya saya, saya melihat ke dia terus sampai dia mungkin menyadari bahwa dari tadi saya memperhatikannya. Pelan-pelan dia menyimpan handphonenya dan memandang ke depan dengan sesekali melirik ke arah saya. Tenang, adik masih dalam pengawasan saya

Mengapa Harus Mematikan Handphone

Seharusnya kita menyadari betapa pentingnya penggunaan handphone ini saat kita memilih pesawat terbang sebagai alat transportasi kita. Saat boarding, kita sudah mendengarkan pengumuman untuk  segera mematikan telepon genggam, begitu pun saat di pesawat. Para pramugari tidak henti-hentinya menyampaikan tentang peringatan ini. Bahkan di depan kursi duduk pun, larangan mengaktifkan telpon genggam juga sudah diancam dengan hukuman dan denda yang tidak sedikit.

Pesawat udara menggunakan peralatan elektronik. Peralatan ini menggunakan gelombang radio atau gelombang elektromagnetik pada saat dioperasikan. Untuk menjalankan berbagai tugas dan fungsi, berkomunikasi dengan menara kontrol, untuk navigasi pesawat  dan pengaturan udara didalam kabin. Jika terjadi kesalahan dalam pengoperasian akibatnya bisa sangat fatal. Fatal karena bisa terjadi kecelakaan yang mengakibatkan para penumpang dan awak kabin bisa kehilangan nyawa. Jika disederhanakan bahasanya, signal handphone kita bisa membunuh orang!

Lalu mengapa orang seakan sangat susah untuk meluangkan sedikit waktunya agar dapat mengikuti aturan yang sudah ditetapkan ini?

Ketidaksabaran

Dari pada mencari ilmu sabar di tempat-tempat terpencil, belajar bersabar untuk tidak menyalakan telpon saat akan menaiki pesawat dan turun dari pesawat sudah cukup. Bayangkan saja, belum juga pesawat berhenti sempurna, di sekeliling kita sudah terdengar opening tone dari berbagai merk handphone. Belum lagi jika ternyata harus menunggu lama untuk garbarata atau tangga merapat ke badan pesawat.

Mungkin agak lebih mudah jika seperti saya karena tidak terlalu kuatir dengan siapa yang menjemput, apakah sudah tiba di bandara atau belum. Kebanyakan memang tujuannya memberi kabar atau mengirim informasi mengenai kedatangan.

Padahal di apron, komunikasi masih di lakukan. Antara pilot pesawat lain dengan menara kontrol. Mungkin memang tidak terlalu terpengaruh jika cuma seorang saja yang teledor menyalakan handphone tetapi jika semua orang bersamaan dalam suatu waktu dijamin pasti sangat mengganggu jaringan komunikasi.

Peduli kepada orang lain

Telepon pintar memang membuat kita seakan tidak berada dalam dunia nyata. Secara tidak sengaja kita malah mengabaikan orang yang benar-benar ada di sekitar kita. Lebih mementingkan orang yang tidak sedang berada di pesawat, padahal pesawat bisa ada apa-apanya jika kita mengabaikan perintah larangan ini.

Kesadaran dan kepedulian kita memang masih sangat rendah. Jika sudah kejadian biasanya baru saling menyalahkan, dan menyesal.

Saya tidak keberatan menegur orang yang  memang bisa membahayakan keselamatan orang lain. Anggaplah kepo, tetapi yang khilaf harus disadarkan jika kita tidak saling peduli, jangan berharap kita bisa sama sama memperbaiki diri.

Kerja karena Rok Mini

Sebenarnya kisah ini selalu diceritakan jika Bapak yang dulunya jadi pimpinan saya ini bertemu dengan orang lain. “Jadi dulu ya, kan dia nih di business center,” katanya sambil nunjuk ke saya. “Saya heran kenapa orang Jepangnya selalu saja ke ruangan itu, katanya untuk bantu mengurus administrasi sewaktu perusahaan baru mau didirikan. Begitu saya ke sana, wah ternyata ini penyebabnya, yang jaga pakai rok mini.” kata beliau sambil tertawa

Dulu di hotel Sahid saya bekerja di bagian pengolahan data, tetapi karena dianggap masih bisa membantu di bagian lain akhirnya saya nyambi juga di business center. Dan itu memang kisah awal saya bertemu dengan pemilik perusahaan tempat dulu saya bekerja yang sekarang masih beroperasi di KIMA Makassar.

“Bagaimana kalau kita ajak saja gabung di perusahaan,” begitu katanya usulan dari Bapak ke orang Jepangnya. “Wah boleh…,” kata si pemilik perusahaan

Jadilah saya bekerja selama total 13 tahun di perusahaan tersebut. Alasannya hanya karena rok mini (hihihi)

Alhamdulillah rok mini juga yang membawa saya ke arah yang tepat. Bekerja sama di lingkungan teman-teman yang selalu menutup aurat dengan baik membuat saya merasa risih sendiri. Kadang malah jadi mikir macam-macam kalau teman-teman cowok tiba tiba duduk di meja depan. Ini mau ngobrol atau mau lihat ke bawah :p

Akhirnya kondisi semakin tidak nyaman, perlahan lahan saya mengubah cara berpakaian saya, roknya semakin panjang dan akhirnya menutup sampai ke mata kaki.

Untungnya dengan berlalunya waktu,  saya masih dianggap berguna di tempat kerja itu. Kira kira jika saya sudah tidak memakai rok mini dan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja mungkin saya langsung dipecat. 😀

 

 

Tentang Karma

Ngeri rasanya kalau kejadian berkenaan dengan karma itu terjadi di depan mata, yang ada langsung berdoa dalam hati semoga saya selalu dijaga dari niat menyakiti orang lain dengan sengaja

“Orangnya tidak bisa kerja, cuma tau berbicara saja tidak ada kerjaannya yang jadi”. Itu salah satu kalimat yang saya masih ingat ketika seseorang menceritakan tentang staff yang tidak perform. Saya juga heran, selama saya bekerja sama saya tidak merasa sesuatu yang aneh. Mungkin saja adaptasi terhadap orang baru dan lingkungan yang baru bisa jadi berpengaruh. Tetapi seharusnya kita bisa melihat kinerja seseorang tidak pada satu rentang waktu saja, tetapi secara keseluruhan.

Belum lagi tentang kecurigaan sehingga orang yang dimaksud menjadi terkucilkan. Masalah penyalahgunaan dana, waktu bahkan kewenangan. Semua hal yang buruk diceritakan, entah itu benar atau tidak

Saya harus menahan rasa yang sangat tidak enak ketika harus menyampaikan bahwa managemen tidak akan memperpanjang kontrak kerja samanya lagi. Sedih karena saya sudah lama bekerja sama dengan dia. Tidak ada pribadi yang sempurna, tetapi jika masih bisa diajak kerja sama peluang untuk mendapatkan hasil maksimal masih memungkinkan.

Sebagai seorang pimpinan yang baru, selayaknya memberi contoh dan merangkul bukan malah membuat orang lain menjadi musuh. Prasangka memang sangat berbahaya, apalagi dalam hal penilaian kepada karyawan.

“Saya tidak melakukan apa apa bu, tapi saya yakin Tuhan punya mata”, merinding saya ketika pernyataan yang harus saya sampaikan dibalas dengan kalimat itu. Saya cuma terdiam dan hanya bisa bersimpati dengan dia

Tuhan memang punya mata, dan Dia membalikkan keadaan yang sama kepada orang tersebut. Saya merinding, ketika menyadari itu. Semua hal yang dikatakan ke orang tersebut berbalik ke dirinya.  Sama seperti kalimat awal yang saya tuliskan, itu juga diucapkan kepadanya oleh orang lain lagi.

Semoga ini adalah pelajaran bagi semua orang utamanya saya. Menjaga hati itu penting. Membersihkan niat juga itu utama. Sekarang saya lebih ingin membicarakan sesuatu tidak berkenaan dengan subyek, tetapi obyek atau materi. Saya tidak ingin kena karma. Tuhan punya mata.

 

Nonton Konser Idola

Bonjovi Live in Jakarta! 9 September 2015 sudah saya tandai jauh-jauh hari, tidak akan ada kegiatan lain selain menonton konser Bon Jovi. Sempat dilema saat membeli tiket dua bulan sebelumnya, saya harus pandai-pandai menakar keinginan dan kemampuan saya. Menonton di VIP jelas tidak mungkin, uang senilai tiga setengah juta rupiah bagi saya sangat besar untuk sekadar menonton seorang idola. Akhirnya saya memutuskan membeli tiket tribun, saya pikir di festival yang tidak ada tempat duduk selama pertunjukan sudah tidak cocok lagi di usia saya. Duduk di tribun atas Geloran Bung Karno dan menikmati ambiance dan euforia para penggemar Bon Jovi pasti terasa megah. Tiket akhirnya terbeli dengan harga lima ratus ribu ditambah pajak dan lain lain.

Keriuhan mulai terasa sehari sebelum konser, di media sosial sudah berseliweran meme yang membuat kita geli sendiri dan tidak sabar untuk bertemu om John and the team. Walaupun banyak teman-teman yang menampakkan dirinya bakal nonton, saya tetap santai dan tetap keukeuh untuk menonton sendiri. Saya pikir jika semua orang tujuannya sama, saya pasti sudah merasa berada bersama sama dalam crowd.

Jam 7 malam saya baru tiba di GBK, sudah mulai ramai dan ternyata begitu masuk di lapangan hampir semua kursi tribun sudah terisi. Untungnya saya sendiri, nyempil dan memilih tempat sesuai selera menjadi lebih mudah. Sam Tsui sudah bernyanyi sedari tadi rupanya, tapi saya tidak terlalu mengenal lagu-lagunya. Saya duduk sambil menerawang tentang Bon Jovi, idola saya sewaktu SMA.

Mama sering bertanya ketika saya mendengarkan musik dengan suara keras saat belajar. Apa bisa masuk tuh pelajarannya? katanya. Tapi itulah, musik bon jovi membuat saya bersemangat. Slippery When Wet adalah album yang paling saya sukai, setelah itu single John Francis Bongiovi, Jr di Young Blood membuat saya lebih jatuh cinta lagi. Penyesalan yang dalam saya rasakan di saat Bon Jovi tiba di Jakarta tahun 1995. Saat itu saya masih kuliah dan saya masih bergulat dengan kerasnya kisah kehidupan saya waktu itu. Alhamdulillah, gumanku. Saya akhirnya bisa melihat secara langsung walaupun cuma sebesar jari telunjuk jika dipandang dari tempat duduk saya.

Penonton yang katanya sekitar 40.000 orang itu benar-benar menyemut, apalagi terlihat dari tribun atas. Mereka pasti berharap yang sama seperti saya, mengingat kembali masa-masa jaya dengan lagu-lagu nge-hits yang sepertinya tak lekang oleh waktu. Sayangnya, dari play list saya hanya mungkin mengenal setengah dari lagu-lagunya. Entah itu album baru, atau album yang terlewati.

Berasa seperti mesin motor yang baru dipanasi, mati lagi, panas lalu mati begitu pas lagu living on the prayer, semua berjingkrak dan setelah itu selesai. Saya geli sendiri. Tidak rugi rasanya beli di tribun, sudah benar pas lah dengan nilai segitu saya tidak sampai kecewa. Om John walaupun sudah setengah abad masih tetap keren. Body dan aksi panggungnya sangat energik, tetapi suaranya sudah tidak bisa menyamai ketika dia masih muda dulu, nafas sudah terputus putus dan tidak bisa lagi di nada tinggi.

Usia memang berpengaruh, sama ketika beberapa lagu yang seharusnya bisa membuat penonton bersemangat malah dinyanyikan dengan aransemen lagu slow, kita bahkan harus terdiam lama untuk mengenali lagu yang dinyanyikan hanya dengan melalui lirik.

Apapun itu, kesan tentang Bon Jovi tetap menarik, meskipun si ganteng Richie Sambora tidak lagi berada di dalam group digantikan dengan gitaris baru yang menurutku wajahnya mirip Josh Groban. Saya pulang dengan rasa puas, sekali lagi bersyukur dapat memperoleh kesempatan untuk menonton secara langsung idola saya. Dan itu cukup ^^

Menyebar Kebencian

Prihatin! hanya itu yang terlintas dalam pikiran ketika membaca status AK yang heboh di dunia maya. Saya mencari tau tentang yang bersangkutan. Masih muda dan harusnya menjadi muslim yang penuh kasih sayang. Pakaian muslim yang dikenakan tidak sesuai dengan ucapannya. Kenapa harus Cina?

Saya keturunan China, bahkan generasi pertama yang ada di Indonesia karena almarhum ayah saya datang langsung sebagai salah satu manusia perahu dari China daratan. Saya tidak memungkiri ada sebagian dari warga keturunan yang membuat batasan dalam pergaulan. Pengalaman saya sewaktu masih bersekolah dan bergaul di masa kecil masih tergambar jelas. Begitu menyebut Inni ren (Orang Indonesia) kadang terasa merendahkan.

Tapi entah karena saya lebih memilih beranggapan semua manusia itu sama, saya memilih berteman dengan Inni ren, orang Indonesia asli. Saya bahkan dijauhi oleh beberapa teman keturunan. Tapi itu tidak masalah, saya harus berdiri di tempat yang saya yakini.

Tetapi dari sudut pandang orang Indonesia sendiri, mereka menyambut baik. Meskipun kadang di tengah jalan saya masih mendapatkan panggilan sayang, “woe.. Cina”. Saya tidak mengerti siapa yang menyebabkan kebencian ras ini terjadi. Dari status AK mungkin dia berpikir bahwa PKI yang sudah ditulis dalam sejarah sebagai organisasi yang jahat adalah perbuatan orang orang China. Entahlah.. saya tidak paham sejarah, apalagi sejarah karangan.

Sayang sekali, masih muda tapi sudah berpikir rasis. Anak-anak saya yang juga masih keturunan sampai sekarang masih saja mendapatkan panggilan sayang tersebut, padahal mereka sudah di pesantren. Tidak ada hubungannya sebenarnya muslim dengan keturunan tapi entah kenapa banyak yang menyamakannya. Mungkin perlu banyak membaca sehingga tidak terbawa hasutan diri sendiri atau lingkungannya.

Saya berpikir, anak ini pengen eksis aja. Pengen diakui keberadaannya, pengen didengarkan sehingga memberi pernyataan-pernyataan provokatif. Sayang jika dia belum tahu tentang resiko yang akan diperolehnya. Tapi apa untungnya menyebar kebencian. Jika kebencian itu menjalar dan berkembang biak di dunia maya yang bergerak cepat, bukannya tanggung jawab moral semakin besar? Naudzubillah.

Semoga anak ini dan orang-orang yang hatinya masih dipenuhi kebencian terhadap orang lain bisa sadar, bahwa Tuhan telah menciptakan kita beragam, tugas kita adalah memberi manfaat kepada siapa pun bahkan mahluk lain dan lingkungan. Setidaknya mengelolah hati sendiri, memikirkan efek dari apa yang akan diucapkan dan disebar, selalu waspada dengan karma, jika berbalik dia bisa saja mencintai seorang Cina yang bakal membuatnya menyesali pernyataannya.

Serasa Punya Anak Lagi

Masih terheran-heran saya melihat tingkah laku anak-anak sekarang. Sangat berbeda dengan keadaan kita dulu. Saya masih ingat ketika saya mulai akrab dengan seseorang, mama langsung mendudukkan saya di hadapannya dan menegur ini itu. Merasa terhakimi langsung pada detik itu. Dan itu sangat kurang baik, karena melihat dari sisi pribadi, saya bukan orang yang suka ditegur lebih suka diberi pemahaman.

Mengingat hal itu saya tidak ingin melakukan hal yang sama dan membuat anak saya merasakan hal yang sama. Zaman memang sudah berbeda, dulu untuk dekat sama seseorang saya di usia kuliah. Dimana saat itu teman-teman sudah memiliki pasangan, agak terlambat untuk ukuran masa itu. Dan itu juga yang membuat saya merasa anak anak sekarang sangat cepat dalam bergaul. Mungkin penyebabnya adalah media yang semakin banyak, sudah ada internet yang memudahkan interaksi. Saya cuma bisa mengingat dulu hanya bisa kagum sama penyiar radio tanpa bisa apa apa.

Kakak merasa sudah waktunya, liburan kemarin sebulan sudah memiliki arti yang besar dalam hidupnya, ya mendapat pacar. Awalnya dia ragu memberitahukan, tetapi menelpon sepanjang jalan sewaktu kami bersama-sama rasanya itu bukan telpon biasa. Saya mulai menganalisa dan harus memutuskan harus bersikap bagaimana.

Mengingat waktu anak-anak yang terbatas, saya tidak ingin menambah batasan lagi. Komunikasi yang penting adalah keterbukaan. Saya menerima semua perkembangan pribadi yang terjadi dengan mereka, karena jika demikian saya akan lebih tahu apa yang terjadi dengan mereka.

“Ummi, palla’ma gombal,” kata kakak yang kira-kira artinya dia sudah pandai merayu. Saya mengiyakan dan memujinya. “Iya nak bagus itu, tetapi ingat yah segala ucapan itu adalah tanggung jawab, jika sudah menyatakan sesuatu harus ditepati,” Mungkin saya akan terus melakukan seperti itu, mendengar dan mengoreksi.

“Ummi, tolong titip pesan disampaikan …. dan …. soalnya … ,” baiklah, sekarang saya sudah berfungsi sebagai messenger juga, tapi tidak mengapa saya senang melakukannya. Saya senang menjadi bagian dari perkembangan pribadi anak anak saya. Saya yakin dunia ini masih terlalu indah buat yang jatuh cinta, sisi yang lain pasti akan muncul, saya cuma berharap tetap bisa dengan mereka menghadapinya. Dan memang benar rasanya, seakan punya anak lagi dan itu menambah cerita yang menyenangkan.