Keterbukaan yang Mendewasakan

“Dulu saya kalau dah dibilang kristen atau china, pasti sudah siap saja ngumpul mau berkelahi bu”

 

Itu kata pak Arif, supir kantor saat saya dalam perjalanan ke Bandara untuk melaksanakan tugas kantor. Rasis juga nih pikir ku. Saya selalu ngeri sama orang rasis, apalagi sebelumnya saya termasuk memenuhi kriteria yang dikatakannya itu.

Dulu juga saya korban pengganyangan pak, masih ingat saya waktu pintu dan jendela di rumah di Makassar itu pecah karena dilempari batu dari luar oleh orang orang yang sedang bergerombol dan meneriakkan kata kata yang membuat saya menyesal telah mendengarnya, menghasut yang lain dan memprovokasi mengajak untuk turut bersama. Waktu itu saya masih kecil dan dilingkupi dengan rasa ketakutan yang sangat besar. Sampai sekarang saya tidak akan bisa melupakan itu.

Tapi bu, sejak internet ada saya malah senang, kata pak Arif. Kenapa demikian pak? tanyaku penasaran. Saya berpikir tidak mudah meniadakan perasaan tidak suka terhadap ras dan agama tertentu jika bukan karena sesuatu yang besar.

Iya bu, kalau ada yang ngomong untuk menghasut saya langsung buka hape, buka internet terus mengecek kebenaran informasinya kan dengan itu kita bisa berpikir, mana yang pantas diikuti dan resiko resikonya, beda sama dulu bu. Apa yang dibilang pimpinan kelompok itulah kebenaran sejati, bahkan mati pun kami rela.

Beugh…

Awalnya keterbukaan informasi memang mengkhawatirkan. Keadaan yang tercipta justru kebebasan berpendapat yang bablas. Orang orang seakan tidak beretika, asal berpendapat tanpa mengecek kebenaran suatu masalah sudah ikut menyebarkannya hanya didasari perasaan suka atau sedang berpihak ke pihak tertentu.

Tetapi itu adalah proses. Sama ketika pemerintah memberikan daerah keleluasaan dengan otonomi tersendiri. Para kepala daerah malah mengeksplorasi sumber daya  yang dimiliki oleh daerahnya.

Sebenarnya ada yang kita lupa. Proses pengelolaan itu sangat penting. Bukan sekadar hak yang diberikan. Ketika pak Arif membuka diri untuk mencari dan menerima informasi dari pihak yang berbeda kemudian menimbang-nimbang informasi tersebut termasuk resiko resikonya, dia sedang melakukan proses pengelolaan.

Kegagalan beberapa daerah untuk mengelola sumber daya daerahnya bukan merupakan kesalahan dari keleluasaan yang diberikan tetapi memang butuh waktu untuk dewasa. Kewenangan yang sekarang ditarik kembali ke propinsi mudah-mudahan dalam rangka pengawasan pengelolaan bukan sekadar berpindah kekuasaan. Karena intinya bukan siapa tetapi proses yang dalam pengawasan yang benar.

Blokir informasi juga merupakan model keleluasaan yang dikebiri. Padahal untuk bisa mahir bersepeda harus bisa merasakan jatuh dulu. Pemerintah cukup mengawasi dan memberikan aturan dimana kita boleh merasakan  jatuhnya agar tidak berakibat fatal. Jika pak Arif tidak diberikan keleluasaan mencari informasi berimbang, saya kuatir jika ada yang memprovokasi saya adalah target yang terdekat yang bisa diserang. Semoga keterbukaan ini memang mendewasakan kita

 

Tentang Karma

Ngeri rasanya kalau kejadian berkenaan dengan karma itu terjadi di depan mata, yang ada langsung berdoa dalam hati semoga saya selalu dijaga dari niat menyakiti orang lain dengan sengaja

“Orangnya tidak bisa kerja, cuma tau berbicara saja tidak ada kerjaannya yang jadi”. Itu salah satu kalimat yang saya masih ingat ketika seseorang menceritakan tentang staff yang tidak perform. Saya juga heran, selama saya bekerja sama saya tidak merasa sesuatu yang aneh. Mungkin saja adaptasi terhadap orang baru dan lingkungan yang baru bisa jadi berpengaruh. Tetapi seharusnya kita bisa melihat kinerja seseorang tidak pada satu rentang waktu saja, tetapi secara keseluruhan.

Belum lagi tentang kecurigaan sehingga orang yang dimaksud menjadi terkucilkan. Masalah penyalahgunaan dana, waktu bahkan kewenangan. Semua hal yang buruk diceritakan, entah itu benar atau tidak

Saya harus menahan rasa yang sangat tidak enak ketika harus menyampaikan bahwa managemen tidak akan memperpanjang kontrak kerja samanya lagi. Sedih karena saya sudah lama bekerja sama dengan dia. Tidak ada pribadi yang sempurna, tetapi jika masih bisa diajak kerja sama peluang untuk mendapatkan hasil maksimal masih memungkinkan.

Sebagai seorang pimpinan yang baru, selayaknya memberi contoh dan merangkul bukan malah membuat orang lain menjadi musuh. Prasangka memang sangat berbahaya, apalagi dalam hal penilaian kepada karyawan.

“Saya tidak melakukan apa apa bu, tapi saya yakin Tuhan punya mata”, merinding saya ketika pernyataan yang harus saya sampaikan dibalas dengan kalimat itu. Saya cuma terdiam dan hanya bisa bersimpati dengan dia

Tuhan memang punya mata, dan Dia membalikkan keadaan yang sama kepada orang tersebut. Saya merinding, ketika menyadari itu. Semua hal yang dikatakan ke orang tersebut berbalik ke dirinya.  Sama seperti kalimat awal yang saya tuliskan, itu juga diucapkan kepadanya oleh orang lain lagi.

Semoga ini adalah pelajaran bagi semua orang utamanya saya. Menjaga hati itu penting. Membersihkan niat juga itu utama. Sekarang saya lebih ingin membicarakan sesuatu tidak berkenaan dengan subyek, tetapi obyek atau materi. Saya tidak ingin kena karma. Tuhan punya mata.

 

Terus Bergerak!

Ini tentang refleksi diri sendiri. Saya menyadari, belajar yang dianjurkan dalam hidup adalah bukan hanya menyangkut lingkungan kita atau orang lain. Yang paling utama bagi saya adalah mempelajari diri sendiri. Kejadian di luar diri termasuk keadaan dan sikap orang lain terhadap sesuatu adalah materi untuk mempelajari diri sendiri.

The best journey is the journey within. Pencerahan menjadi proses yang menyenangkan dalam diri. Saya termasuk orang yang paling suka melihat, mendengar kemudian diam dan berpikir.

Baru-baru ini saya sungguh merasa sangat sibuk, seakan bernapas pun saya sulit mencari waktu apalagi untuk tidur dan rileks. Kerjaan tiba-tiba menumpuk untuk diselesaikan, urusan keluarga juga. Semua membutuhkan energi yang tidak sedikit.

Tiba pada saatnya saya merasa menyerah. Saya bahkan bertekad dalam diri saya. Saya mau istirahat dan tidak mau diganggu oleh urusan pekerjaan. Itu saya putuskan saat saya mengantarkan anak-anak ke Temboro, pesantren Al Fatah. Dan saya mulai rileks, mulai lemah… dan sakit.

Ya, ternyata saya tidak boleh berhenti bergerak. Ini sudah yang kedua kalinya saya mengamati diri saya tidak boleh bersantai. Saya bahkan merasa ini semacam “kutukan”. Apa mungkin nenek moyang saya memang pekerja rodi yang harus bekerja keras agar dapat hidup? Bukan soal bekerja kemudian mencari uang dan bisa membeli makanan untuk hidup, tetapi bisa hidup karena harus terus bergerak dan terus bergerak.

Pekerjaan atau kesibukan yang memicu saya berpikir dan bergerak rupanya itulah yang membuat saya “hidup”. Mungkin saya memang seperti ikan salmon, yang konon jika ditangkap oleh nelayan di laut agar tetap membuatnya segar harus ditempatkan bersama hiu kecil. Harus struggle untuk survive. Jika tidak ada pemangsa, ikan-ikan ini akan mati karena loyo. Dan nelayan tidak mendapatkan ikan yang hidup lagi setibanya di pantai. Mungkin itulah juga mereka memilih hidup di tempat yang berarus keras, penyuka tantangan.

Orang yang mempekerjakan saya harusnya beruntung, saya tidak perlu diberi target untuk bekerja karena saya akan mencari sendiri apa yang harus saya lakukan untuk pekerjaan yang terbaik. Tetapi itu dari sikap fisik. Yang lebih utama adalah saya harus terus berpikir, tidak boleh berhenti. Mungkin saat rileks saya adalah saat bekerja dan memang saya menikmatinya. Semoga saya selalu diingatkan untuk tidak berhenti, tidak menyerah. Menyerah berarti Mati! Merdeka!!!

 

Semut yang Kacau

Saya agak kuatir, film The ANT-MAN yang heboh itu mungkin tidak akan sempat saya tonton. Kesibukan serta masih banyak prioritas dari daftar yang saya buat membuat saya menempatkan posisi menonton pada posisi opsional, jika ada waktu.

Beruntung saya masih bisa berjodoh, di Lotte-Ciputra ternyata film ini masih diputar. Diantara judul film Mission Impossible yang main di 5 studio sekaligus, film ini masih tertera di layar, walaupun hanya diputar 3 kali dalam sehari.

Saya sebenarnya enggan menonton film bertema serangga. Entah kenapa setiap melihat gambar atau menonton film yang bertema mahluk kecil ini, rasanya badan jadi gatal bukan main.

Deretan kursi tidak terisi penuh, ini membuat saya leluasa memilih tempat duduk yang nyaman.  Melihat kondisi ini sepertinya tidak lama lagi film ini akan digantikan dengan film terbaru, sekali lagi saya bersyukur.

Aksi  heroik versi Marvell ini sudah sering kita tonton, siapa pun tokohnya. Selalu saja good guy yang akan menang melawan kezaliman para penjahat yang ingin menguasai dunia akibat ambisi selfish yang melebihi standar kewajaran. Dan itu selalu membuat kita merasa, ah indahnya hidup di dunia kartun, di dunia khayalan.

Tapi ada yang tambahan kesan yang saya peroleh dari cerita ini. Setidaknya sesekali saya harus berpikir dan bertindak seperti semut, bukan sebagai si hero, Ant-Man, tidak perlu.

Setahu saya dari pelajaran sekolah dulu kita dikenal dengan bangsa yang suka gotong royong, tapi sekarang saya lebih merasa menjadi bangsa yang gontok-gontokan. Kenapa bisa demikian?

Betapa menyenangkannya melihat kawanan semut yang dipimpin oleh satu kendali, berhati baik dan bertujuan mulia. Mereka dengan siap selalu menjalankan fungsinya masing-masing. Mereka bisa membuat jembatan, membuat tali dan sebagainya untuk bisa membantu mencapai tujuan dari misi tersebut.

Sekarang di sekitaran, saya malah melihat betapa orang berebut fungsi, semua ingin jadi pemimpin, semua ingin bicara dan banyak yang mencela fungsi dari orang-orang lain sehingga kadang mengabaikan fungsi dan tugas sendiri.

Dunia ini semakin mengerikan. Jika dilihat seperti dunia semut sepertinya chaos. Mungkin penyebabnya ada pada kita-kita, ada pada cerminan penjahat-penjahat yang ada di komik Marvell tersebut. Kapitalisme, konsumerisme semuanya dinilai dengan materi. Nilai-nilai pribadi yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidup tergerus habis. Kebanyakan mementingkan diri sendiri, untuk mencari orang yang ingin berkorban dalam memberikan manfaat kepada orang lain juga sulit.

Orang-orang pandai malah menggunakan kepandaiannya dengan mengabaikan moral, selama itu dinilai bisa membuatnya kaya dan exist. Materi sudah merupakan jaminan hidup bahagia. Kebanyakan melenceng dari tugas dasar kita di dunia. Saya juga merasa termasuk di dalam kelompok ini. Saya belum banyak berbuat untuk orang lain, orang di sekitar saya padahal itu adalah tugas saya hidup.

Gotong royong tidak lagi sempurna, rata-rata diselingi dengan hiasan kepentingan, bahkan banyak juga kita temukan sekadar menyenangkan sesaat, gimmick saja.

Saya tidak berniat jadi Ant-man, masih terlalu jauh menempatkan diri sebagai pemimpin kelompok. Cukup saya belajar untuk menjadi diri saya sendiri. Menyadari arah yang kadang kita kesampingkan gara-gara distorsi dari lingkungan yang merecoki pikiran kita sehingga tugas dasar yang tersimpan di hati tinggal menjadi daftar tugas yang terabaikan, jika ada waktu

Hidup itu Menyakitkan dan Penuh Penderitaan

Hidup itu menyakitkan dan penuh penderitaan!

Terkesan pesimis? negatif? Tapi menurutku memang begitulah keadaannya. Khayalan tentang hidup yang menyenangkan dan tanpa rasa sakit sebenarnya itu menjauhkan diri dari kenyataan. Tapi apakah kita jadi menyerah? Tidak!

Saya perlu menyadari sakit dan rasa derita agar tidak perlu berusaha untuk mengalihkannya atau bahkan mengubahnya menjadi kebahagiaan sempurna. Jika saya berusaha demikian, saya akan stress, merasa harus melakukan sesuatu untuk mengubah kenyataan yang kadang di luar batas kemampuan kita. Pernyataan hidup ini menyakitkan dan penuh penderitaan hanya untuk menerbitkan kesadaran bahwa “Life is tough, so deal with it.”

Kita dengan tidak sengaja menciptakan keadaan yang lebih menyakitkan dengan menghindari perasaan tidak menyenangkan ini. Padahal kita sadar sepenuhnya, hidup tidak bisa dipisahkan dari kehilangan, kesedihan, keletihan dan kebosanan.

Tetapi kemelekatan atau bergantung kepada harapan-harapan, materi bahkan eksistensi dapat membuat frustasi, kekecewaan dan beberapa bentuk sakit hati yang lain. Jadi daripada takut akan penderitaan atau berusaha mengatasi itu, kita bisa belajar untuk mengenali penderitaan itu dan menerimanya.

Bagaimana cara menerimanya?

Setiap hari bisa kita bisa memberitahukan diri kita bahwa kita tidaklah hancur, tetapi tetap menyadari kenyataan akan kematian, menua, sakit dan kehilangan bagian dari kehidupan. Berhentilah meyakinkan diri bahwa hidup itu mudah dan bebas dari rasa sakit, baik secara emosional dan secara fisik. Konsep ini sebenarnya yang ditawarkan para pembuat kosmetik, pabrik obat-obatan dan fashion, termasuk film film drama happy ending.

life

Jadi masih ingin menyangkal bahwa hidup itu penuh dengan penderitaan?

 

 

 

Aku Gelombang

Aku gelombang
Yang terpengaruh angin
Yang tergantung bulan

Aku gelombang
Kadang membuat nyaman yang berayun
Membuat tenggelam yang tak kuat bergantung

Aku gelombang
Ternyata tidak butuh pengendali
Hanya gelombang yang lebih besar, yang menguasai

#selfreflection

Jualan Bakso atau Jualan Mobil

Ada cerita menarik yang saya dengar dari sahabat, orang terdekat saya. Dalam dunia kerja memang terisi oleh bermacam-macam niat, karakter, perilaku, dan sebagainya. Semakin lama kita berada dalam dunia ini semakin banyak juga yang bisa kita pelajari. Apakah itu menjadi bahan untuk menghadapi situasi atau bisa jadi menjadi bahan refleksi diri.

Ini seperti orang yang jualan bakso dan jualan mobil, katanya. Saya sempat bingung, apa ya maksudnya? Pernah gak memperhatikan bagaimana tukang bakso menarik perhatian sekampung agar semua orang menyadari kehadirannya? iya, benar. Rata-rata dari mereka menciptakan bunyi dari mangkuk dan sendok besi yang dimilikinya. Belum cukup dengan itu, kadang disertai juga dengan teriakan. Bakso…bakso…

Lalu bagaimana dengan pedagang mobil? apakah mereka melakukan hal yang sama? Tentu tidak. Walaupun mungkin modal suara yang bisa dihasilkan dari kendaraan ini bisa lebih besar dari dentingan suara mangkuk dan sendok yang beradu. Tapi benar, itu tidak dilakukan. Tidak perlu. Cukup dengan menempatkan mobilnya diam dan bersahaja, disertai lampu sorot yang menambah keanggunannya.

Benar, itu lah analogi dari bebarapa karakter yang bisa kita temukan di dunia kerja. Kadang orang harus bersuara kencang, terburu-buru bahkan memanfaatkan informasi yang keakuratannya belum terjamin, hanya untuk menarik perhatian. Dan memang itu yang mungkin mereka inginkan, perhatian sehingga mereka dianggap, atau dirasakan kehadirannya.

Tetapi ada juga karakter tenang yang berisi segala informasi tapi dengan segala pertimbangan yang ada di kepalanya, dengan sabar mendengarkan bahkan tidak terbaca apa yang sedang lalu lalang dalam pikirannya. Lao Tze berkata, orang bijak itu kelihatan bodoh. Mungkin seperti itu perumpamannya. Tetapi dengan kesabaran dan ketenangannya justru merupakan misteri, dia pasti menyimpan harta karun yang besar sehingga tidak dengan mudah diumbar. Mereka bisa memilih kepada siapa yang pantas untuk membicarakan sesuatu.

Semoga menjadi bahan refleksi bagi saya yang kadang grasah grusuh gak karuan 😀

Kaku atau Lentur!

Tidak semua orang suka kota yang penuh hiruk pikuk seperti Jakarta. Saya pun demikian awalnya. Setiap akan ke ibu kota beberapa tahun lalu hati saya terasa berat, malas rasanya. Lalu kenapa sekarang saya menyukainya? Bahkan tawaran untuk balik ke kampung halaman sudah disampaikan tetapi saya kecenderungan saya tetap ke ibu kota yang penuh cahaya ini. Mungkin adaptasi saya selama hampir 4 tahun ini berjalan mulus. Nampaknya…

Saya merasa orang yang bisa survive di Jakarta adalah orang yang sudah ditempa dengan keadaan yang memang keras. Bentukan pribadi menjadi lebih jelas. Dari matahari terbit sampai terbenamnya, tidak ada kata “santai”. Bahkan untuk jalan kaki sekali pun, harus tetap waspada dengan trotoar yang dipenuhi bikers atau penjaja kaki lima. Belum lagi yang mengendarai kendaraan umum, bahkan berefek sampai ke pemilik mobil pribadi, sebagus apapun mobil yang dimiliki.

Tapi saya suka dengan Jakarta. Anggap saja latihan membuat hati ini lebih “dingin” dan bisa menghadapi keadaan sesulit apa pun. Saya tidak ingin menjadi manja, sedikit sedikit mengeluh. Di Jakarta saya bisa jalan jauh tanpa perlu berharap ada kenalan yang coba menjemput atau mengantar. Naik busway, commuter line, angkot semuanya sendiri. Dilalui dengan beberapa jam dalam keadaan panas pun tak masalah. Saya suka seperti itu, karena begitu balik ke keadaan seperti kota Makassar, dimana orang-orangnya sudah mengeluh dengan macet dan jauh saya cuma bilang, “oh.. santai saja, gak apa apa”

Tapi saya baru saja sadar. Rasa bisa menghadapi segala keadaan ini ternyata saya bisa kategorikan menjadi dua sikap. Yang pertama adalah kaku. Seperti tulisan saya sebelumnya, Jakarta bisa membuat kita menjadi batu, tidak berperasaan dan seperti robot, bahkan tidak peduli dengan keadaan orang lain. Itu bisa tergambar pada sikap bahkan bisa menjalar sampai ke hati. Ini yang saya tidak inginkan.

Akhir-akhir ini saya merenung, saya tidak perlu demikian. Saya cuma harus membuat hati saya seperti karet yang lentur. Jika mendapat tekanan bisa mengkerut tapi dalam keadaan biasa bisa juga mengembang. Saya pernah mengamati wajah beberapa penumpang di metro mini yang panas dan padat. Ada yang benar-benar tidak peduli, keras tapi ada juga yang tetap sejuk, tersenyum. Saya ingin seperti itu.

Saya ingin senyum saya tetap mengembang menghadapi keadaan yang keras, begitu pun hati saya. Saya tidak ingin kehilangan rasa, justru saya ingin rasa tenang yang bisa saya hasilkan sendiri bisa menjalar ke orang-orang lain, melalui senyuman ^_^

Ikutan Rusuh!

Huh! rusuh gara gara pertikaian Gubernur DKI dan Politisi di DPRD DKI mengenai aggaran ini rupanya menjalar juga ke group pertemanan saya.

Saya suka Ahok, saya menggambarkan dirinya sebagai sosok kesatria yang tidak takut mati, berjuang membela rakyat dan berani dengan segala konsekwensinya. Sangat susah mendapatkan pemimpin daerah seperti itu sekarang. Tetapi saya juga melihat hal-hal yang perlu diperbaiki. Beliau masih sering terbawa arus, yang sebenarnya mungkin dibuat sengaja oleh lawannya agar dia terpancing amarah, dan bertindak ceroboh sehingga dia dengan mudah diserang.

Saya tidak suka beberapa anggota DPRD yang kelihatan tidak ingin menyelesaikan masalah, apa kemungkinannya karena masalah itu mereka yang buat sendiri? Mana tahu. Saya cuma tidak suka dengan orang yang mengatasnamakan rakyat kemudian menikmati manfaat untuk diri sendiri.

Tapi saya bukan pengamat politik, lalu kenapa saya juga ikut rusuh?

Bagaimana tidak, di group pertemanan yang rata-rata adalah keturunan Chinese seperti saya tetapi berbeda kepercayaan pertikaianini menjadi terbawa.

 

Apalagi tentang seorang politisi yang saat rapat dibubarkan meneriakkan kata yang tak pantas, menyinggung soal ras dan binatang. Politisi tersebut dari partai yang berasaskan agama. Sangat disesalkan.

Saya sangat tidak setuju agama atau ras menjadi dasar hal berpolitik, mungkin memang kepentingan dalam pengelolaan negara menjadi penting, tetapi jika kader atau wakilnya sangat tidak mencerminkan gambaran umum tentang agama, itu yang ruwet.

Berada di kelompok yang berbeda dan menjadi minoritas memang harus punya rasa pemakluman yang tinggi. Saya harus sabar mendengar teman-teman yang secara implisit menggambarkan bagaimana seorang itu dengan agamanya bisa berkata sesuatu yang tidak pantas.

Saya tidak menyalahkan mereka, keadaan itu sudah terjadi dan opini sudah terbentuk. Yang saya sayangkan adalah semakin tertutuplah peluang untuk menyatakan bahwa apa yang sekarang yang saya yakini adalah baik. Saya rindu politisi seperti alm. GusDur yang memanusiakan manusia, bukan malah membinatangkan yang tidak sepaham.

Yah.. untuk sementara saya diam. maklum.. tapi menyayangkan orang yang bertindak pribadi tetapi membuat orang lain berasumsi semua di kalangannya adalah sama.

Semoga Ahok tetap kuat! tetap berjuang. Dan semoga yang keliru disadarkan untuk Jakarta yang lebih baik

 

 

 

Lagi, Tentang Kursi Kereta

Saya berpikir dalam, membayangkan bagaimana seandainya dunia kiamat? Semua orang berebutan untuk bisa selamat, sampai tidak peduli dengan yang lain. Sama seperti berebutan naik ke commuter line, bahkan malaikat yang mau turun saja kita sikut. Mungkin saja…

Pikiran yang didasari oleh ketidak mengertian. Seberapa penting kursi kosong di kereta api bekas hibahan negeri sakura ini. Mungkin karena made in Japan yang lebih empuk dari pada buatan negeri sendiri. Sangat berbeda dengan negeri asalnya. Kursi yang seharusnya pensiun, bahkan menjadi rebutan. Di sana bahkan orang segan untuk duduk sementara masih ada orang yang membutuhkan dan mereka masih berdiri.

Tutup mata, berpura-pura tidur, itu salah satu trik untuk menghilangkan kesadaran dengan sengaja supaya tempat duduk yang sudah pas nyamannya di pantat ini tidak beralih ke orang lain.

Menutup mata, mungkin itu cerminan bahwa kita dengan sengaja menutup hati kita dengan keadaan sekitar. Banyak yang lebih membutuhkan dari kita tetapi kita tetap merasa kita yang lebih butuh.

Padahal, kadang kita butuh doa dari orang yang kita beri tempat duduk. Lebih butuh doa daripada tempat duduk. Tetapi, kota besar mengacaukan pikiran kita. Lupa dengan kesadaran apa yang kita butuhkan. Hidup keras membuat sikap empathy berkurang bahkan hilang sama sekali.

Jarang kita dapatkan lagi gentleman yang memberikan ruang duduk kepada wanita, bahkan wanita tua sekalipun. Mungkin dia merasakan bahwa dia lebih wanita dan lebih tua dari orang-orang yang ada di kereta itu.

Saya selalu berusaha sabar, tidak ikut dengan mengeraskan body saat naik atau turun. Berharap fleksibilitas saya bisa membuat orang yang kasar bisa mendapat ruang. Tapi tetap saja berasa sakitnya kena lutut atau sikut. Mungkin saya harus pakai baju bantal saja.

Hidup di Jakarta memang keras, tetapi itu yang membuat orang menjadi tegar, seperti batu. Sayangya transformasi ke batu ini kadang tak bisa dikendalikan, tak bisa terhenti hingga sampai ke hati.