Setia dengan Jubah

Sudah menjadi kesepakatan yang tidak tertulis antara saya dan anak-anak yang sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Fatah, Temboro, setiap dua bulan sekali, adalah waktu untuk menjenguk mereka.

November 2015 ini saya berangkat via Jogja dan melanjutkan dengan Kereta Api ke kota yang terkenal dengan pecelnya, Madiun. Anak-anak dijemput di pondok, prosesnya kali ini agak lama. Harus minta izin ke semua ustadz yang kelasnya tidak bisa diikuti. Bagus juga agar anak-anak tidak keluar pondok jika tidak penting.

Karena tertarik mencoba hotel baru di kota Madiun, akhirnya kami menginap di Sun City Hotel. Walaupun hotel baru tetapi mungkin pengelolanya bukan yang spesialis chained hotel. Kurang tertata bagus dan finishing hotelnya juga kurang rapih. Tetapi para pekerja di hotel ini sangat ramah, bahkan ada yang menyapa dengan menyebutkan nama saya. Wah, sangat personal. Makanannya juga enak dan murah.

Di area yang sama terdapat Sun City Water and Theme Park, saya mengajak anak-anak berenang karena mereka memang dari kecil suka berenang. Amdan, si bungsu, sangat antusias sementara kakaknya mengikut saja.

Selama bepergian ada yang membuat saya kagum dengan Amdan, dia berbusana tidak lepas dari jubahnya. Bahkan untuk ke kolam renang. Agak berbeda dengan kakaknya, Jihad. Mungkin karena usia sudah beranjak remaja, dia sudah menggunakan kemeja dan jeans. Sepatu kets dan topi.

27894

Mengapa Harus dengan Jubah?

Di pesantren memang diwajibkan berpakaian muslim. Kebanyakan para pria menggunakan jubah. Semua merk jubah dari yang murah sampai yang mahal tersedia untuk dibeli di desa Temboro. Amdan salah satu penggemar jubah dengan merk Al Haramain, harganya Rp. 250.000,- dan untuk hari ulangtahunnya yang tepat di November ini, dia meminta jubah sebagai hadiahnya.

Mungkin Amdan juga menyukai jubah karena pakaian ini juga dicintai oleh Rasulullah SAW, semoga demikian. Alasannya bahwa jubah ini begitu praktis, atau mungkin karena dia pernah mengalami kejadian dimana jubah yang menyelamatkannya waktu dia bermain. Seandainya jubah tidak tersangkut, mungkin dia sudah jatuh terluka.

27896

Saya merasa senang jika anak-anak saya menyadari bahwa pilihannya adalah baik untuk dia. Amdan memang punya kepercayaan diri yang tinggi, sehingga dia bisa mengesampingkan pendapat orang terhadap dirinya.

Semoga apa yang mendasari pilihan mereka adalah contoh-contoh  dari orang-orang terbaik terdahulu, diyakini dan dijalankan dengan istiqomah, in shaa Allah

Jika Peduli Matikan Handphone!

Seberapa banyak sih kepedulian kita dengan keselamatan kita bersama?

Dalam perjalan menuju ke Jogja baru-baru ini, saya jadinya harus mengomel dalam hati melihat seorang ibu yang sudah di atas lima puluh tahunan tetapi mungkin baru senang senangnya menggunakan gadget. Saat penerbangan di atas pesawat, mungkin karena bosan dia mengambil telepon pintarnya. Saya tepat duduk di bagian belakang sisi kanannya. Saya mulai berpikir, menyalakan telepon genggam pada saat pesawat mengudara mungkin akan memancarkan signal. Semoga bisa langsung dia mengubah ke mode pesawat. Tapi dugaan saya salah. Saya masih saja kepo dengan memperhatikan setiap gerak geriknya, dan benar saja, notifikasi WhatsApp di baris paling atas handphone-nya mulai mengganggu saya. Saya tidak menegur karena tidak berapa lama pilot sudah mengumumkan untuk persiapan mendarat, handphone dimatikan kembali.

Di posisi tempat duduk yang sama, karena saya memang suka memilih untuk duduk di lorong, pada saat penerbangan pulang  ke Jakarta, seorang anak gadis juga mengganggu konsentrasi saya. Dia asik mengetik di handphonenya,  sepertinya dia tidak sedang menulis catatan atau semacamnya, tapi dia chating! Minta ampun gondoknya saya, saya melihat ke dia terus sampai dia mungkin menyadari bahwa dari tadi saya memperhatikannya. Pelan-pelan dia menyimpan handphonenya dan memandang ke depan dengan sesekali melirik ke arah saya. Tenang, adik masih dalam pengawasan saya

Mengapa Harus Mematikan Handphone

Seharusnya kita menyadari betapa pentingnya penggunaan handphone ini saat kita memilih pesawat terbang sebagai alat transportasi kita. Saat boarding, kita sudah mendengarkan pengumuman untuk  segera mematikan telepon genggam, begitu pun saat di pesawat. Para pramugari tidak henti-hentinya menyampaikan tentang peringatan ini. Bahkan di depan kursi duduk pun, larangan mengaktifkan telpon genggam juga sudah diancam dengan hukuman dan denda yang tidak sedikit.

Pesawat udara menggunakan peralatan elektronik. Peralatan ini menggunakan gelombang radio atau gelombang elektromagnetik pada saat dioperasikan. Untuk menjalankan berbagai tugas dan fungsi, berkomunikasi dengan menara kontrol, untuk navigasi pesawat  dan pengaturan udara didalam kabin. Jika terjadi kesalahan dalam pengoperasian akibatnya bisa sangat fatal. Fatal karena bisa terjadi kecelakaan yang mengakibatkan para penumpang dan awak kabin bisa kehilangan nyawa. Jika disederhanakan bahasanya, signal handphone kita bisa membunuh orang!

Lalu mengapa orang seakan sangat susah untuk meluangkan sedikit waktunya agar dapat mengikuti aturan yang sudah ditetapkan ini?

Ketidaksabaran

Dari pada mencari ilmu sabar di tempat-tempat terpencil, belajar bersabar untuk tidak menyalakan telpon saat akan menaiki pesawat dan turun dari pesawat sudah cukup. Bayangkan saja, belum juga pesawat berhenti sempurna, di sekeliling kita sudah terdengar opening tone dari berbagai merk handphone. Belum lagi jika ternyata harus menunggu lama untuk garbarata atau tangga merapat ke badan pesawat.

Mungkin agak lebih mudah jika seperti saya karena tidak terlalu kuatir dengan siapa yang menjemput, apakah sudah tiba di bandara atau belum. Kebanyakan memang tujuannya memberi kabar atau mengirim informasi mengenai kedatangan.

Padahal di apron, komunikasi masih di lakukan. Antara pilot pesawat lain dengan menara kontrol. Mungkin memang tidak terlalu terpengaruh jika cuma seorang saja yang teledor menyalakan handphone tetapi jika semua orang bersamaan dalam suatu waktu dijamin pasti sangat mengganggu jaringan komunikasi.

Peduli kepada orang lain

Telepon pintar memang membuat kita seakan tidak berada dalam dunia nyata. Secara tidak sengaja kita malah mengabaikan orang yang benar-benar ada di sekitar kita. Lebih mementingkan orang yang tidak sedang berada di pesawat, padahal pesawat bisa ada apa-apanya jika kita mengabaikan perintah larangan ini.

Kesadaran dan kepedulian kita memang masih sangat rendah. Jika sudah kejadian biasanya baru saling menyalahkan, dan menyesal.

Saya tidak keberatan menegur orang yang  memang bisa membahayakan keselamatan orang lain. Anggaplah kepo, tetapi yang khilaf harus disadarkan jika kita tidak saling peduli, jangan berharap kita bisa sama sama memperbaiki diri.

Pahlawan bagiku

Selama ini saya mengenal pahlawan yang dulu gambarnya terpampang di diding kelas saat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar. Tugas kita adalah menghapal nama dan dari daerah mana pahlawan tersebut berasal dan berjuang hingga gugur demi untuk bangsa dan negara. Seperti pelajaran biasa, menghapal dan menunggu untuk bisa menjawab soal dalam ujian.

Baru baru ini saya ke Ambon, Maluku. Seperti umumnya para pejalan kami singgah di spot-spot yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk memperkenalkan daerahnya. Salah satu spot yang sangat berkesan bagi saya adalah Monumen pejuang Christina Martha Tiahahu.

Terletak di daerah bukit Karang Panjang, di area monumen terdapat patung yang menurut saya sangat gagah untuk seorang wanita muda. Patung yang menghadap ke laut dengan posisi berdiri tegak dengan memegang tombak, sangat heroik. Saya penasaran, siapa sebenarnya wanita yang terkesan tidak kenal takut ini? itu karena dulu saya hanya mendapatkan informasi mengenai nama dan daerah asal saja tanpa tahu cerita kepahlawanannya.

Christina Martha Tiahahu dilahirkan di desa Abubu pulau Nusalaut dekat Maluku tahun 1800. Ayahnya seorang kapten, Paulus Tiahahu. Dikarenakan ibunya berpulang saat dia masih kecil, Christina dibesarkan oleh ayahnya dan mengikuti ayahnya kemana pun ayahnya pergi bahkan ke medan pertempuran.

IMG_20151014_155946

 

Diawal tahun 1871 Christina dan ayahnya bergerilya dalam perang melawan Pemerintah Kolonial Belanda, Mereka bergabung sebagai tentara Pattimura, pejuang besar dari Maluku. Perjuangan yang membuat Belanda banyak mengalami kekalahan, bahkan Christina melawan tentara Belanda dengan menggunakan batu yang dilempar. Namun di bulan Oktober perlawanan mereka terhenti karena ditangkap oleh Belanda.

Karena usianya yang masih muda, Christina tidak dihukum namun dipenara di Benteng Beverwijk sementara ayahnya dieksekusi mati. Setelah melarikan diri, Christina melanjutkan perang melawan penjajah. Tetapi akhirnya dia tertangkap kembali. Dalam perjalanan pembuangan dirinya ke Jawa, Christina jatuh sakit dan dia menolak makan dan meminum obat-obatan. Akhirnya dia gugur di usianya yang terbilang sangat muda sebagai pahlawan, 18 tahun.

 

Bagi saya kisah heroik ini benar-benar menggugah. Semangat juangnya sangat terasa, saya malah mengambil gambar dan menjadikannya sebagai wallpaper, sekadar mengingatkan saya bahwa seorang wanita pantang merasa takut, harus berjuang untuk kebenaran yang diyakininya, di mana pun dia berada.

Saya juga kagum kepada pemerintah daerah di kota Ambon yang sangat pas menempatkan monumen Christina Martha Tiahahu.  Daerah lain mungkin masih perlu menyelami arti kepahlawanan para pejuang daerahnya dan memikirkan visualisasi yang tepat untuk mewakilkan ketangguhan para pejuang terdahulu.

Semoga semangat para pahlawan bisa kita resapi dan diaplikasikan dalam setiap kegiatan kita. Yang paling pasti adalah mendapatkan contoh integritas dan keteguhan yang mereka miliki, tidak goyah oleh godaan apapun, selain apa yang menjadi tujuan utama. Merdeka.

Selamat Hari Pahlawan, para pahlawan

Drama Cumi di pulau Samalona 

 

Drama memang sebaiknya ada biar berkesan, tetapi kebanyakan drama bikin kita tidak berkembang

 

Karena merasa sudah lama tidak menyentuh air laut dan berayun atasnya, sehabis lebaran haji kemarin,  saya mengajak keluarga untuk ke pulau kecintaan, Samalona. Pulau yang terletak di bagian barat kota Makassar yang biasanya ditempuh dengan menggunakan kapal motor kayu.

Melihat air jernih yang terang benderang memantulkan cahaya matahari rasanya melegakan perasaan sampai ke dasarnya. Air laut musim kemarau rupanya dingin, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi.

Seperti biasa begitu tiba di pulau kami mencari tempat untuk bisa beristirahat atau sekadar meletakkan barang-barang sebelum berenang. Biasanya yang masyarakat banyak yang menyambut. Mereka menawarkan bale bale bambu, rumah untuk disewa, perlengkapan snokling dan bahkan menawarkan ikan yang memang dipelihara di keramba.

“Mau beli cumi bu?”, kata seorang ibu setengah umur memakai daster dengan badan yang agak kurus

Mungkin dia melihat saya menyerah mencari ikan yang tidak ada jenis lain selain baronang dan anak ikan hiu yang harusnya dilarang dikonsumsi.

“Boleh, berapa harganya?”,

“Seratus ribu, 3 ekor”, saya melihat cumi berukuran sedang dan langsung saat itu terbayang cumi bakar yang berwarna hitam karena tintanya. Saya berusaha menawar, namanya saja ibu-ibu kurang afdhol rasanya tanpa menawar.

“Minta 4 aja bu, seratus ribu” dalam bahasa makassar yang terbata-bata saya berusaha menawar.

“Minyaknya mahal, nda bisa kurang lagi”.

“Paslah saya kan mau dibakar saja jadi minta 4 ya gak usah pakai minyak”, saya tetap memakai akal untuk menawar

“Gak bisa, gak dapat harga segitu,” kata ibu yang akhirnya saya tahu bernama Daeng Te’ne

“Gitu saja bu, saya bakar sekarang dari pada tinggal cuminya”

“Oh gak bisa, nanti juga banyak yang mau beli” . Kalimat Daeng Te’ne ini betul-betul membuat saya patah arang.  Yah sudahlah, saya tidak memiliki perasaan bersalah lagi sudah menawar. Apalagi lauk cumi sebenarnya cuma sebagai pelengkap. Kakak dan ponakan semuanya bawa makanan. Saya meninggalkan daeng Te’ne dan akhirnya berenang menikmati laut yang biru terang.

Cucu keponakan yang  belum berusia setahun menjadi penyegar suasana. Apalagi ibunya mengaku ini kali pertamanya dia ke pulau Samalona. Wah.. sayang sekali 😀

Setelah memuaskan kulit ini disentuh oleh air laut saya akhirnya merasa lapar. Begitu tiba di balai-balai saya sudah langsung kepikiran makanan. Hmm.. lapar karena bermain air itu lumrah, sibuklah saya bergerilya membuka tempat makan yang ada. Ada gogos dan daging toppalada ada serundeng juga, rasanya lengkap saya pun makan dengan lahap.

“Ini sudah dibakar cuminya,” dua orang pria yang berbadan tinggi berkaos oblong datang menghampiri kami. Saya jelas terheran-heran. Perasaan saya tidak jadi memesan cumi ini, kok yah tiba-tiba ada yang datang dan bilang itu pesanan kami. Dan kalau daeng Te’ne yang berubah tiba tiba jadi laki laki ini saya pasti lebih heran lagi.

Dan memang benar ternyata, ini siasat daeng Te’ne langsung memberikan cumi tanpa berani bertemu dengan kami, langsung menodong ceritanya. Oh jangan dulu. Saya bukan orang yang cerewet tapi untuk pemperjelas sesuatu itu bagian saya. Saya akhirnya meminta para pria pembakar cumi itu untuk memanggil daeng Te’ne. Akhirnya dia datang dan tidak bisa berkata apa-apa karena saya ada. Dia sudah menyampaikan ke kakak ipar saya bahwa dia sudah berbicara dengan saya saat saya berenang. Ini tidak benar!

Saya ngotot berkata tidak dan saya marah kepada ibu ini, yang pertama dia arogan, penjual kok arogan yang kedua dia berbohong mengatas namakan saya kemudian berbicara dengan kakak ipar saya, yang ketiga dia seakan menodong untuk kita terpaksa membeli cumi itu.

Kasihan cuminya, akhirnya saya bilang sudah, biar saya bawa pulang saja toh kami kami sudah makan tetapi sebelumnya saya sudah berceramah panjang ke daeng Te’ne. Eh bukannya selesai dia malah bilang, ya sudah gak usah dibeli gak akan jadi rejeki yang baik. Astaghfirullah.. harusnya dipikir sebelum dia melakukan hal hal yang tricky itu. Ya sudah saya pun tidak mau menahan. Saya hanya berharap semoga menjadi pelajaran.

Kasihan cuminya lagi, sudah dibakar jadinya tidak bisa dinikmati

2015, Kami Datang dengan Semangat!

Tiket kereta yang sudah saya pesan dua bulan yang lalu untungnya dapat ditolerir oleh pak bos. Hari libur akhir tahun yang belum pasti dan urgensi untuk memesan tiket lebih awal untuk kepentingan seat dan harga. Selasa tanggal 30  Desember 2014 menjadi tambahan hari izin saya. Entah sudah berapa banyak hari izin yang saya minta apalagi setelah ke Jepang selama selama sebelas hari.

Kali ini saya menggunakan KA. Argo Lawu tujuan Solo. Sebenarnya saya malas menempuh rute ini, karena tiba subuh langsung harus ke terminal untuk naik bus sampai ke Maospati. Bukan lama perjalanan yang dua setengah jam yang membuat saya malas, tetapi naik bus antar kota di pulau Jawa itu benar benar diuji kesabaran. Dari kondektur yang main asal dorong (pegang-pegang), tempat duduk yang sudah sempit pun masih dipadatkan, belum lagi yang berdiri. Duduk di isle bisa jadi samsak sementara, kepala disikut sana sini dan orang yang nyikut pun santai aja. Iya memang mereka santai, semuanya jadi pemakluman, mungkin karena memang begitu seperti biasanya.

Saya cuma tidur dua jam di kereta api, di bus sama sekali tidak bisa tidur diantara kekacauan yang saya ceritakan itu. Untungnya kosan tempat biasa di Pondok Utara masih kosong, sehingga saya bisa beristirahat. Ojek dari Maospati ke pondok utara pun sudah naik harga rupanya menjadi Rp. 20.000,-

Anak-anak izin sebelum dhuhur. Pas waktu tidur jika di pondok. Bahagianya bisa bertemu dengan mereka. Sudah pasti tas duluan yang dibongkar. “Ummi bawa apa?”

Rencana saya melewatkan 3 malam bersama anak-anak, tetapi anak-anak pengen suasana berbeda, mereka meminta untuk ke Madiun. Via agoda akhirnya saya membook hotel Merdeka di Madiun. Harganya lumayan untuk hotel yang saya kategorikan sudah lama. Tetapi masih mending dibanding Aston Madiun yang harganya bisa 2x lipat.

Sayangnya, Adek selalu saja sakit jika saya kunjungi. Kata orang-orang sih karena dia masih manja, masih pengen disayang-sayang sehingga begitu saya tiba daya tahan tubuhnya pun melemah. Entah benar entah tidak. Yang pasti saya memang jadi harus memperhatikan ekstra ke dia. Untungnya kakak sudah bisa mengerti, walaupun kadang dia bilang dia pengen jadi anak bungsu supaya bisa disayang seperti adiknya. “Kakak itu tumpuan harapan ummi yang paling besar, makanya ummi keras dan mau kakak bisa jadi pemimpin, menjadi pelindung untuk adiknya,” kataku mencoba menjelaskan.

Hotel Merdeka bukan tempat yang tepat untuk beristirahat ternyata. Karena terletak di pusat kota, dua panggung disiapkan untuk konsentrasi massa di malam tahun baru. Kebanyang berisiknya. Tetapi saya tetap bersyukur karena tidak mendengar petasan yang tiada henti jika berada di kosan di Jakarta.

Malam tahun baru saya lewatkan di kamar dengan anak-anak, dengan adek yang tidur karena demam dan kakak yang asik main handphone. Saya cuma memeluk kakak dan sama sama kami berdoa berharap untuk tahun yang lebih baik dan lebih kuat.

IMG_20150102_135325

“Ummi, saya minta pesan dari ummi, saya sudah mulai sedih ummi sudah mau pulang”, kata adek yang berangsur angsur sembuh di hari terakhir kami di hotel.

“Kesedihan dan kebahagiaan itu  bersifat sementara, jadi jangan pernah menyerah, tetap semangat, tetap berharap”

Kata kata yang saya tulis untuk menyemangati diri saya juga terbukti berefek pada adek. “Langsung ka jadi semangat ummi,” katanya dengan logat makassar yang masih kental.

Alhamdulillah, semoga kita semua dikuatkan nak. Selamat tahun baru 2015. Saling mendoakan saling mengingatkan untuk tetap semangat.

I love you all :*

Buku yang Perlahan-lahan Terhapus

Saya agak kurang paham dengan kesukaan teman-teman mengunjungi kota-kota besar semisal Singapura. Percaya atau tidak, begitu disebut nama negara itu sebagai ajakan untuk liburan saya langsung merasa malas. Apa yang bisa saya nikmati di sana ya? Saya pikir kota itu cuma cukup sekali saja jika berniat untuk dikunjungi, setelah itu, mending mencari tempat lain.

Saya mungkin keliru dengan cara pandang saya terhadap Singapura, tapi terus terang saya tidak melihat ada “kisah” di sana. Yang saya lihat adalah hasil karya imanjinasi orang-orang kini yang memang disepakati dengan istilah modern, metropolitan penuh gemerlap dan semuanya serba wah!.

Beda rasanya ketika mengunjungi Penang, Malaysia. Kota yang masih memelihara warisan gedung-gedung yang punya kisah di retakan dan kusamnya warna dinding yang berjejer di sisi–sisi aspal. Seperti ingin memancing kita untuk mencari tahu ada cerita apa yang sudah disaksikannya. Semua terasa penuh misteri. Tetapi tidak menjadikan kota Penang seperti tempat yang kusam dan tidak menarik. Perkembangan ekonomi seiring dengan berdirinya bangunan kokoh juga nampak, tapi tidak lantas menggerus cerita, menghapus jejak para penghuni terdahulu kota tersebut.

Sebagian daerah Georgetown di Penang bisa menjadi bukti. Georgetown sudah menjadi situs yang dilindungi oleh UNESCO dan  saya menikmati eksplorasi sejarah di sana, seperti membuka lembar-lembar buku tua yang berseri yang tidak akan habis terbaca. Mungkin itu rasa yang membedakan cara pandang saya terhadap dua kota tersebut. Yang satu cukup saya pandang sekali, selesai. Sementara yang lain setiap pandangan mengandung kisah, setiap sudut mengandung cerita.

Lalu bagaimana dengan kota kelahiran saya? Makassar memang sudah banyak berubah. Saya memang tidak bisa menyalahkan tuntutan globalisasi yang akhirnya menyamakan semua kota menjadi kaku, gemerlap, padat dan kotak-kotak. Bahkan bebarapa kota berkembang pun berburu label “sister-city” dengan kota-kota besar lainnya. Keunikan perlahan lahan terhapus.

Seperti merobek-robek buku yang sudah ditulis oleh orang tua kita. Begitulah saya menganalogikan sikap kita terhadap perkembangan kota yang ada. Siapa yang bisa disalahkan, tuntutan ekonomi, perubahan tantanan sosial dan yang pasti sikap moral menghargai sejarah kita sudah berkurang. Jadinya pemilik rumah antik pun rela menguangkan harta warisannya untuk diubah menjadi bangunan kotak yang menebalkan kantong para pencari untung.

Kisah yang saya miliki tidak tergambar lagi di dinding-dinding rumah, di jalan-jalan yang saya lalui, tempat-tempat yang dulu saya kunjungi. Semuanya berpindah alam, cuma tertinggal dalam pikiran saya saja, tidak ada lagi yang bisa saya wariskan ke anak-anak saya. Karena apa pun yang saya ceritakan akan tergambar dalam angan-angan mereka saja, tidak ada lagi yang nyata.

Coba dibayangkan berapa banyak cerita yang hilang yang terhapus. Anak-anak saya mungkin tidak akan tahu lagi tentang cerita tentang kuburan di lapangan Karebosi, dimana sewaktu kecil saya bisa berdebar-debar ketika berjalan di atas rumputnya. Takut tiba-tiba menginjak kuburan yang menyebar dengan kisah keramatnya. Tentang kisah perjuangan para lelulur mempertahankan diri disepanjang pantai dari Tallo ke Somba Opu. Yang bahkan disisinya sudah terbangun Taman Bermain modern yang seketika mengecilkan arti para pejuang kita. Terganti dengan manusia-manusia yang ego yang lupa akan kearifan-kearifan yang mungkin saja diwariskan melalui kisah dari bongkahan-bongkahan batu yang tersisa. Ya, kita cuma bisa melihat bangunan yang hampir sama diseluruh arah, rumah toko dan swalayan. terbayang manusianya…

Semua kisah yang saya sampaikan mungkin hanya akan berupa dongeng buat anak cucu saya nanti. Saya cuma berharap sebagian dari kisah-kisah yang jika  masih ada tersisa, dapat dijaga dan dilestarikan. Semoga pemimpin kota yang baru ini punya hati dan kepedulian menghargai peninggalan para orang tua kita. Minimal tidak mengubah cerita itu menjadi pundi-pundi uang yang nantinya akan hilang juga bersamaan dengan nafsu materialistik yang semakin mendominasi orang-orang masa kini.

Hanya itu harapan saya yang dari buku yang tersisa…

 

—–

Tulisan ini dibuat untuk menjawab tantangan @iPulGS dalam menyambut #SewinduAM yaitu BlogBucket dengan tema Seputar Kota. Dan berikutnya saya menantang @dgrusle dengan tema Kegiatan keseharian, kalau sudah jago menulis tema yang berat, coba kita tantang dengan menulis tema yang mudah ^^V

Selamat ulang tahun @paccarita semoga tetap menjadi keluarga yang apa adanya :*

 

Sinjai, a part of me from here

Saya seharusnya merasa bersyukur, akhirnya bisa berkunjung ke Sinjai. Kabupaten yang terletak di sebelah timur Sulawesi Selatan. Sinjai harusnya jadi daerah yang spesial buat saya. Selama ini saya cuma mendengar dan membayangkan keadaan kota kabupaten ini dari ibu saya saja. Nenek dari ibu saya memang berasal dari Sinjai, tepatnya daerah Balangnipa. Seorang yang katanya terlahir bersama biawak. Zaman itu pasti lazim dengan kisah-kisah seperti itu.

#ilc2014sinjai
#ilc2014sinjai

Saya berkunjung ke Sinjai dengan tujuan menghadiri Indonesia Linux Conference. Kumpul-kumpul para simpatisan operating sistem linux dan aplikasi open source di Indonesia. Berangkat dari terminal Malengkeri, rute yang dilalui oleh angkutan umum ini memutar ke arah selatan, melalui kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, dan Bulukumba. Waktu yang kami habiskan dalam perjalanan ini adalah 6 jam. Walaupun memutar jalan yang ditempuh tidak terlalu berliku. Kecuali ada beberapa berbaikan jalan di perbatasan Bulukumba dan Sinjai.

Berangkat jam 10 pagi kami akhirnya tiba di Sinjai pukul 4 sore. Bertepatan dengan berakhirnya acara seminar sehari yang akan dilanjutkan dengan Pertemuan KPLI (Kelompok Pengguna Linux Indonesia) dari berbagai daerah seluruh Indonesia.

Bertempat di pulau Sembilan. Sembilan pulau yang berkumpul di sisi timur pantai Sinjai. Salah satunya menjadi tempat pertemuan itu. Dengan mengendarai speed boat sekitar 20 menit kami akhirnya tiba di desa nelayan dan mengikuti kegiatan puncak ILC 2014 ini.

Memang saya merasa kurang maksimal, karena sebagian teman-teman harus pulang dan tidak mengikuti meeting ini. Tapi yang membuat saya antusias adalah laporan dari teman-teman berbagai daerah yang masih terus giat bergerak untuk sosialisasi penggunaan open source. Kegiatan mereka memang tidak dipromosikan besar-besaran tidak megah, tetapi apa yang mereka lakukan adalah memberikan kontribusi yang nyata pada penyebaran penggunaan open source. Itulah komunitas.

Karena waktu yang terbatas saya tidak bisa menjelajah atau ber-napak tilas di kota kelahiran nenek buyut saya. Saya pun yakin ibu saya sudah lupa dengan keadaan di kota itu. Tetapi di dalam tubuh saya membawa bagian dari daerah ini.

Segala kekurangan semoga menjadi pelajaran untuk yang berikutnya. Begitulah harapan saya untuk ILC tahun berikutnya yang akan diadakan di Tegal.

Minas, Minuman khas Sinjai terbuat dari tape singkong dan telur
Minas, Minuman khas Sinjai terbuat dari tape singkong dan telur

Yang berkesan adalah kulinernya. Kami sempat diantar oleh @irhapunya dan enal (Relawan TIK) dijamu di TPI Lappa. Tempat Pelelangan Ikan dimana kumpulan orang masih antusias mendengar besaran rupiah yang disebutkan meningkat bertahap seiring persetujuan dari orang yang ingin membeli. Benar-benar transaksi lelang. Melihat ikan-ikan yang diangkut turun dari perahu. Yang pasti daging putih, gurih dan manis tak terlewatkan dikecap oleh lidah yang selama ini merindukan kesegaran itu.

Kegiatan Para Nelayan Sesaat setelah tiba di Pelabuhan
Kegiatan Para Nelayan Sesaat setelah tiba di Pelabuhan

Perjalanan pulang melalui rute yang lain, daerah Camba. Melalui pegunungan yang berliku dan saya beruntung mengadakan perjalanan di malam hari sehingga saya tidak perlu merasa takut dengan jurang yang mungkin ada di sisi kiri dan kanan jalan. Lebih cepat dari jalur selatan. Sekitar 5 jam perjalanan saja. Sempat melambat juga diakibatkan padatnya kendaraan terutama truk yang lalu lalang di jalur tersebut.

Selfie? Teuteup ^^ (with @irhapunya)
Selfie? Teuteup ^^ (with @irhapunya)

Saya masih berharap bisa berkunjung ke Sinjai lagi, berharap benar-benar bisa merasakan kedekatan dalam diri saya.

TSM, Tempat Semua Menyatu

Keluarga saya beragam. Dari sudut agama dan status sosial dengan saudara-saudara sangat berbeda. Walaupun sejak kecil kami memulai kehidupan dengan sumber yang sama, didikan yang sama, namun proses perkembangan pribadi dan lingkungan yang berbeda menjadikan kami menentukan arah sendiri-sendiri.

Sejak menjadi mualaf, berpindah keyakinan memeluk agama Islam, terus terang perbedaan itu terasa juga. Walaupun dari saudara-saudara lain tetap berusaha untuk bisa menyatu. tetapi tidak akan sama seperti dulu. Itu yang saya rasakan. Rasa canggung, ragu dan takut membuat ketersinggungan yang tidak sengaja tetap saja ada.

Kakak  perempuan saya yang sudah lama merantau di Jakarta memang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih dari saya. Di saat liburan sekolah dia dan keluarga pulang ke Makassar. Bareng dengan ibu saya yang juga tinggal bersama dia dan keluarganya di Jakarta.

Saat itu di Makassar baru didirikan dengan megahnya, Trans Studio Makassar. Indoor Theme Park, sebuah tempat rekreasi yang unik dan terbesar ke-3 di dunia saat itu.

Trans Studio Makassar, 24 Oktober 2009
Trans Studio Makassar, 24 Oktober 2009

Sudah merupakan kebiasaan dari orang-orang di Makassar. Sesuatu yang baru pasti heboh. Demikian juga dengan hadirnya Trans Studio Makassar ini. Apalagi Trans Studio Makassar adalah satu-satunya theme park yang ada di Makassar ini menjadi kebanggaan kota dan masyarakat Makassar. Kakak saya pun tertarik untuk mengajak kami-kami semua mengunjungi dan bermain di theme-park yang luasnya sekitar 2,7 ha dengan tinggi 20 meter.

Saat itu kali pertama kami bermain bersama-sama. Ibu saya, kakak saya, saya dan anak-anak kami semua mengunjungi Trans Studio Makassar. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah megah. Saya sampai tidak berhenti mendongakkan kepala, memandang sekeliling melihat design interior dan bangunan-bangunan bertema yang sangat menarik.

Seketika saya sudah tidak merasakan bahwa kami datang dengan perbedaan. Kekaguman kami yang menyatu beriringan dengan keceriaan anak-anak yang begitu antusias untuk mengikuti semua permainan yang disediakan di sana.

Dari Trans City Theater hingga Dunia Lain, semua kami jelajahi. Yang paling menyenangkan bagi saya adalah Sepeda Terbang (Flying Bicycle). Disitu jelas sekali maksudnya, jika ingin diatas kita harus berusaha dan bekerja sama untuk meraihnya, begitu yang saya sampaikan ke anak-anak saya. Karena tidak ada batasan umur untuk permainan ini kami bisa bermain bersama-sama.

Flying Bicycle
Flying Bicycle

Dunia Lain adalah favorit anak-anak. Mereka menikmati rasa takut yang tercipta dunia buatan itu. Saya bahagia melihat mereka menikmatinya.

Tidak adalagi status sosial yang berbeda, tidak ada lagi agama yang hingga saat ini dijadikan pemisah antar saudara bahkan sebangsa. Trans Studio Makassar menyatukan kami. Bercanda, tertawa seakan tidak ingin berhenti. Saya masih ingat ibu saya dengan penuh kasih sayang mengingatkan anak-anak saya untuk sholat. Dan saya bersyukur tempat ibadah yang disediakan pun tidak seadanya. Kami akhirnya menghabiskan waktu dari pagi hingga malam dalam penyatuan yang membuat kami terhubung satu dengan yang lain.

Momen dimana saya melihat, seharusnya suasana kegembiraan dan bermain bersama seperti anak-anak yang tidak perlu disibukan dengan pikiran tentang batasan perbedaan. Seharusnya dunia Trans Studi Makassar menjadi dunia bagi kita semua. Dunia impian untuk bisa hidup damai dalam perbedaan.

TSM, We are connected
TSM, We are connected

Album foto menjadi bukti kedekatan kami, menjadi awal hubungan yang lebih cair di masa-masa berikutnya. Mungkin sekarang kami tetap berjauhan, tetapi kenangan ini menjadi dasar yang berkesan.  Semoga Trans Studio Makassar tetap menjadi penghubung, Tempat Semua Menyatu.

 

Siapapun bisa menulis, bukan?

Baru-baru ini Anging Mammiri mendapat undangan untuk ikut dalam Press And Marine Excursion di Kepulauan Spermonde tanggal 18 hingga 20 Mei 2012 nanti. Kegiatan yang pasti menarik untuk saya penyuka laut dan sangat kebetulan saya berencana pulang ke Makassar di tanggal tersebut.

Karena jatah untuk komunitas blogger cuma untuk 2 orang, akhirnya Ipul Dg. Gassing selaku ketua komunitas Anging Mammiri membuka pendaftaran bagi yang ingin ikut.

writing

nah, mekanisme pemilihan 2 orang yg berhak mewakili AM adalah sebagai berikut :
karena yang diundang adalah blogger dalam kapasitas sebagai blogger, maka saya akan menghitung berapa jumlah postingan dalam kurun waktu 10 Maret 2012 s/d 10 Mei 2012. saya kira ini mekanisme yg fair agar kita tahu blogger mana saja yg memang konsisten menulis minimal dalam 2 bulan terakhir karena toh timbal balik dari acara ini diharapkan blogger undangan akan menulis tentang perjalanan ini

Mekanisme ini diumumkan setelah semuanya mendaftar dan ini fair menurutku, apalagi memang tugas yang akan diemban oleh siapapun yang ikut itu adalah menulis. Hasil perhitungan jumlah postingan membuat saya dan Iqko terpilih untuk mendapatkan kesempatan ini.

Walaupun dengan kesan bercanda Daeng Nuntung, sempat membuat pernyataan-pernyataan di milis yang meragukan kenyataan kenapa saya bisa menulis sebanyak itu. Dia sama sekali tidak salah, saya pun sangat terkejut dengan “produktifitas” yang tidak saya sadari. Dalam kurun waktu tersebut tercatat saya memiliki 19 postingan, kurang 1 postingan saja saya sudah menyamai Iqko

Akhirnya saya berpikir kembali, kira-kira apa yang menyebabkan saya serajin ini? dan berikut alasannya:

1. Motivasi

a. domain dan hosting pribadi

Ini kenyataan, sejak saya memiliki blog dengan domain dan hosting sendiri saya semakin terpacu untuk menulis. Kalau bisa diumpamakan seperti rumah, akan beda rasanya mengurus rumah sewaan dibanding rumah sendiri. Saya merasa punya rumah yang harus saya benahi setiap hari dan mengisinya dengan hal-hal yang berguna.

b. pengalaman

Sejak di Jakarta saya lebih banyak waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan selain bekerja. Setiap kejadian pasti meninggalkan kesan pada diri kita, saya tidak mau kehilangan kesan itu sehingga saya menulisnya. Selain kegiatan, karena waktu lebih banyak sendiri banyak juga pemikiran-pemikiran yang timbul, dengan menulis saya berharap bisa mereview nya di lain waktu.

c. belajar

Cara menulis saya masih sering dikritik oleh beberapa teman, tetapi terus terang itu membuat saya terpacu untuk belajar. Bahkan saya tidak keberatan merogoh kocek untuk membiayai pelatihan penulisan karena saya tahu dengan tetap belajar maka pengetahuan kita akan bertambah. Saya ingin ada perubahan di setiap tulisan saya, perubahan yang menuju ke hal yang lebih baik tentunya.

d. terus dan terus menulis

Terus terang kadang kritik itu membuat kita menjadi down, mungkin karena kita merasa kita sudah sangat maksimal berusaha untuk menulis yang bagus dan disukai orang. Nah, untuk yang ini motivasinya saya ubah sedikit. Saya tidak menulis untuk orang lain, saya menulis untuk diri saya, membiarkannya mengalir tanpa perlu berpikir tentang kesan orang lain terhadap tulisan saya. Tujuan saya sederhana, berbagi.

2. Fasilitas

Saya beruntung bisa memanfaatkan blackberry bukan hanya sekadar untuk chating. Di setiap keadaan ketika ide tulisan muncul saya pasti akan menekan shortcut tombol D  untuk bisa langsung ke menu notes. Di situlah saya menuangkan ide, kata-kata kunci bahkan saking asiknya saya bisa mengetik satu tulisan sementara saya di angkot atau bahkan di boncengan tukang ojek.

Awalnya kadang saya menggerutu, begitu sampai di tempat kost signal langsung drop. Tinggal seorang diri dengan tanpa akses internet itu menyiksa! Benarkah? Ternyata semua memang ada hikmahnya. Karena saya menolak untuk nonton tv akhirnya saya kadang di kamar sendirian dan dengan itu otomatis waktu luang saya jadi banyak. Waktu luang disebabkan oleh keadaan, membuat saya mencari apa yang bisa saya lakukan. Tidak terasa 2 jempol ini pun menemani saya bekerjasama untuk membuat tulisan, dan ini sangat membantu untuk saya bisa tertidur karena letih.

Sebanyak apapun tulisan jika masih sebagai draft tetap saja belum merupakan tulisan. Terus terang keadaan kantor juga membuat saya bisa lebih leluasa mengakses internet. Posting blog, blog walking dan membaca referensi-referensi lebih banyak saya lakukan saat saya menunggu waktu untuk pulang. Daripada berdiri letih menunggu angkot yang penuh sesak, mending waktu tersebut dihabiskan dengan menulis, mengedit tulisan, atau membaca tulisan orang-orang yang bisa menambah pengetahuan.

Yah, bagaimana pun proses untuk bisa ikut kegiatan Press And Marine Excursion di Kepulauan Spermonde ini, hal yang paling membuatku berkesan adalah ternyata saya BISA menulis. Dan saya yakin teman-teman pun bisa demikian. Sayang jika sesuatu yang kita miliki tidak kita bagikan. Semoga bermanfaat.