Mandala Mekar, Perjalanan yang berkesan (1)
Desa Mandala Mekar menjadi nama desa yang familiar apalagi dengan dipusatkannya acara Festival Jawa Kidul atau lebih dikenal dengan JadulFest tanggal 2-5 Juni 2012. Desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya yang merupakan salah satu dari 348 desa/kelurahan terbagi dalam 39 kecamatan.
Untuk menuju ke desa Mandala Mekar kita harus masuk ke kota Tasikmalaya dulu. Dari Jakarta, berangkat dari terminal Kampung Rambutan dengan bus Budiman yang menyediakan layanan ke Tasikmalaya hampir tiap jam. Hargan Rp. 50.000,- untuk bus Eksekutif per orang. Kursi yang empuk plus bantal buat tidur menjadikan perjalanan menjadi nyaman.
Jarak yang ditempuh memakan waktu sekitar 6 jam. Karena kami berangkat sekitar jam 1 siang tiba di pool Budiman di Tasikmalaya itu sekitar jam 7 malam. Tidak kepikiran bagaimana untuk mencapai desa Mandala Mekar karena panitia sudah menjanjikan untuk menjemput. Bayangan kami tidak terlalu jauh, namun ternyata kami salah.
Rp. 150.000,- per ojek, artinya lebih mahal dari bus yang kita tumpangi dari Jakarta. Ini tidak mungkin, mana harus berjalan malam lagi, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu jemputan dari panitia saja.
Untuk ke jalan poros sebelum menuju desa itu ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Naik bus sebangsa kopaja dengan membayar Rp. 7.000,- setelah itu kami diantar dengan mobil milik salah seorang kepala desa yang juga diundang di acara tersebut.
Dan itu kita harus menghabiskan waktu sekitar 1 jam lebih, dengan kondisi jalan yang rusak berat. Beruntung sudah lepas musim hujan, jalanan tidak becek tetapi cenderung berdebu.
Masih ada jalan alternatif lagi, kata bapak kepala desa tersebut.
“Memang jalan yang kita tempuh ini agak jauh karena kita harus melewati 2 desa untuk mencapai Mandala Mekar”, kata beliau
Perjalanan ini memang butuh kesabaran, mungkin karena diluar dari prediksi kami sebelumnya. Dan ternyata bukan hanya sabar, nyalipun dibutuhkan.
Karena berpikir waktu yang harus disediakan khusus untuk perjalanan makanya kami memutuskan untuk pulang lebih awal. Senin pagi kami sudah tidak sempat mengikuti acara lagi. Setelah pamit dengan panitia kami akhirnya memutuskan untuk naik ojek hingga sampai ke tempat yang dijangkau oleh bus. Bus L-300 yang mereka sebut dengan ELF, sejarahnya memang mungkin sebutan merk menjadi pengganti nama angkutan tersebut.
Naik ojek di dengan jalan yang berbukit-bukit itu membuat jantung memompa lebih cepat dari biasanya. Saya harus berpegangan erat di bagian belakang jok hanya supaya badan ini tidak merapat pada si tukang ojek jika sedang menurun. Kecuraman mungkin ada yang sampai 45 derajat, dan mereka para ojek yang adalah penduduk desa ini sudah terbiasa mengendalikan motornya di medan seperti itu.
Sepertinya sepanjang jalan saya cuma berdoa semoga segera mendapatkan jalan datar, dan doa terkabul dengan kondisi yang lebih mengerikan.
Di depan saya terbentang jembatan gantung, panjangnya mungkin sekitar 100 meter, dengan dasar pijakan dari bambu uang dianyam walaupun pengaitnya besi baja tetap saja membuat saya menahan napas melewatinya.
Tinggi sekitar 50 meter dari dasar sungai yang terlihat dasarnya. Saya cuma bisa memperkirakan tanpa benar-benar mencari tahu keakuratan data tersebut.

Papan pemberitahuan yang menanjurkan agar yang dibonceng turun dari boncengan tak diindahkan oleh ojek saya. “Pegangan aja mbak”,
Mati aku! Pikirku. Tapi asli saya saat itu cuma menyerahkan hidupku kepada Tuhan, melalui pak ojek ini. Lebay, tapi memang begitu kenyataannya. Saya penakut tetapi tidak ada istilah kembali. Dan memang akhirnya kami berhasil melalui jembatan yang mungkin bagi penduduk desa tersebut tidak merasakan kengerian yang saya alami, dan untuk itu saya ‘hanya’ membayar Rp. 25.000,-
Begitu tiba di depan toko tempat kami menunggu ELF, rasanya sudah lega. Saya sudah melalui episode tegang itu. Tinggal episode absurdnya saja. Tidak pernah terlintas dalam bayangan kami akan berada di antara 27 orang dalam 1 mobil sebesar mitsubishi L-300 ini.
Bahkan seorang yang lanjut usia pun rela berdiri membungkuk hanya supaya bisa naik di angkot tersebut. Harusnya ini jadi peluang bisnis, karena tingkat kebutuhannya masih sangat tinggi.
Akhirnya kami kembali menumpang bus Budiman, bus yang hampir tiap jam menuju Jakarta. Perjalanan kembali ke ibukota terasa lebih cepat daripada saat pergi, hal yang biasa dirasakan jika sedang melakukan perjalanan. Tetapi yang pasti perjalanan ini menyenangkan, penuh dengan petualangan yang bikin jantung berdetak lebih kencang, dan kelapangan hati karena harus bersabar. Thanks to my travelmate daeng Ipul , wish we have another next journey