Kejamkah Jakarta itu?

Tidak terpikirkan sebelumnya saya akan melewati keseharian saya di kota metropolitan ini. Bayangan tentang kota besar yang menakutkan juga sempat mempengaruhi saya pada awalnya, namun saya tetap yakin untuk bisa hidup di mana pun selama memang takdir saya demikian.

Saya memang lebih suka naik kendaraan umum. Membaca adalah kesukaan saya. Bukan membaca buku tetapi membaca fenomena kehidupan yang ada di sekitar kita. Perbedaan yang sangat drastis antara si kaya dan si miskin jelas terlihat.

Saya tahu, jika orang-orang yang naik mobil mewah dengan kenyamanan di sekelilingnya akan membuat mereka kurang peka terhadap yang terjadi dengan orang lain. Bukan mengeneralisasi, pasti ada juga yang berhati lembut yang peduli walaupun dia sedang berada di jok mobil mewah yang empuk.

Miris melihat pemandangan setiap harinya, di pinggir jalan masih banyak pula yang menadahkan tangan, membawa bayi sebagai penggugah rasa hanya untuk mendapatkan beberapa ratus rupiah saja.

Tetapi itulah Jakarta, semuanya ada di sini. Kabar tentang ketakutan akan kejahatan yang terjadi di sana sini, membuat kita lebih meningkatkan kewaspadaan bahkan dapat menjadi alasan penolakan untuk tidak mengunjungi kota ini, apalagi bermukim.

Saya tidak mau terlalu terpengaruh dengan asumsi, saya lebih suka ‘membaca’. Tidak semua yang dikatakan itu benar. Beberapa kejadian justru bertolak belakang dengan asumsi yang ada.

Pak Yus, bapak yang biasa mengantar saya ke kantor dengan motornya adalah salah satu orang yang saya temui yang menghapus kesan bahwa tidak ada orang yang peduli.

Di usianya yang hampir 60 tahun, berambut putih berbadan gempal, bapak ini masih saja mencari nafkah menjadi tukang ojek. Setiap pagi dia dengan setianya menunggu saya keluar dari lorong kompleks.
“Sudah sarapan neng? Mau singgah beli dulu?” Sapaan rutin yang membuat saya kadang tidak merasa sendiri.

“Neng kalau ada cucian kasih ibu saja yah biar dia yang nyuciin”,
Bapak ini hidup bersama istrinya, berdua saja tanpa anak. Saya kadang merasa kehilangan juga jika keluar dari rumah dan tidak menemukan beliau.

Mungkin saya tidak bisa memberikan lebih kecuali doa. Semoga bapak dan ibu sehat dan bahagia setiap harinya. Walaupun seminggu ini saya merasa sedih karena dia tidak bisa mengantar ke kantor karena motornya yang rusak.
Bapak itu orang yang baik untuk saya sudah membuat saya merasa seperti keluarga, oleh karena itu saya yakin dia akan menemukan orang yang baik juga. Semuanya akan seimbang. Seseimbang kesan Jakarta yang buruk, ternyata saya juga menemukan kebaikan di sana.

34 thoughts on “Kejamkah Jakarta itu?

    1. dipuji sama guru itu melebihi nilai rapor yang cemerlang :))

      thanks daeng untuk bimbingannya selama ini, jangan bosan yah, kekurangan saya masih banyak 😀

    1. dipuji sama guru itu melebihi nilai rapor yang cemerlang :))

      thanks daeng untuk bimbingannya selama ini, jangan bosan yah, kekurangan saya masih banyak 😀

  1. manis mam… punya keluarga yang tidak sedarah ditanah rantau memang bikin kita merasa nd sendiri yah

    well, Jakarta memang keras, dan sampai hari ini saya tak pernah terbayangkan bagaimana jadinya kl sy pun dihadapkan pada pilihan “harus ke jakarta”, hihi..

    1. iyah, berasa sekali kita membutuhkan orang yang tulus seperti keluarga
      bagi mamie yang penting dijalani saja, yang penting memohon kekuatan saja bukan begitu dek syam *hugs*

  2. manis mam… punya keluarga yang tidak sedarah ditanah rantau memang bikin kita merasa nd sendiri yah

    well, Jakarta memang keras, dan sampai hari ini saya tak pernah terbayangkan bagaimana jadinya kl sy pun dihadapkan pada pilihan “harus ke jakarta”, hihi..

    1. iyah, berasa sekali kita membutuhkan orang yang tulus seperti keluarga
      bagi mamie yang penting dijalani saja, yang penting memohon kekuatan saja bukan begitu dek syam *hugs*

  3. Posting yang menyentuh dan menggetarkan. Syukurlah, saat ini–sudah jalan setahun–saya sudah menjauh dari “kekejaman” Jakarta dan kini telah nyaman dalam pelukan “kehangatan” Cikarang :))

    1. saya malah mau pindah ke pusat keramaiannya lagi daeng hihihi.. biar bisa jalan kaki, tapi mikir juga kasihan pak tukang ojeknya, tetapi nantilah dilihat.. saya percaya sama jodoh, sama seperti perjodohan daeng dengan cikarang 🙂

  4. Posting yang menyentuh dan menggetarkan. Syukurlah, saat ini–sudah jalan setahun–saya sudah menjauh dari “kekejaman” Jakarta dan kini telah nyaman dalam pelukan “kehangatan” Cikarang :))

    1. saya malah mau pindah ke pusat keramaiannya lagi daeng hihihi.. biar bisa jalan kaki, tapi mikir juga kasihan pak tukang ojeknya, tetapi nantilah dilihat.. saya percaya sama jodoh, sama seperti perjodohan daeng dengan cikarang 🙂

  5. Sama seperti Mamie, saya juga menemukan banyak kebaikan dan kehangatan selayaknya keluarga dalam berhubungan dengan tetangga2 di Pancoran 🙂

  6. Sama seperti Mamie, saya juga menemukan banyak kebaikan dan kehangatan selayaknya keluarga dalam berhubungan dengan tetangga2 di Pancoran 🙂

  7. Macet dan ketimpangan sosial di Jakarta mi alasanku memilih kembali ke Makassar. Sekarang kebetulan lagi di Jakarta, dan ketimpangannya masih sama saja. Parah.

    1. jadinya mungkin kita harus berpikir, dimana pun kita berada kita harus siap dengan kondisi, yang penting kita nda terpengaruh .. semoga 😀

  8. Macet dan ketimpangan sosial di Jakarta mi alasanku memilih kembali ke Makassar. Sekarang kebetulan lagi di Jakarta, dan ketimpangannya masih sama saja. Parah.

    1. jadinya mungkin kita harus berpikir, dimana pun kita berada kita harus siap dengan kondisi, yang penting kita nda terpengaruh .. semoga 😀

  9. Jakarta boleh keras, tapi hati jangan ikut keras… Betul itu, harus tetap waspada, karena kelihaian Jakarta ibarat magic yang bisa menampilkan sesuatu yang berbeda dari kenyataan.
    Jakarta kalau dilihat dari pinggir jalan Sudirman itu sangat mewah, tapi kalau mau jalan sedikit saja dan menatapnya dari pinggir rel kereta maka pemandangannya akan berbeda.

    1. nah.. mamie yakin om kirman lebih banyak ‘melihat’ karena lumayan perjalanan naik kereta setiap pagi, pasti banyak sekali yang bisa dipelajari. Benar om kita nda boleh lengah, berharap semuanya tetap baik dan dalam lindunganNya .. Aminnn

  10. Jakarta boleh keras, tapi hati jangan ikut keras… Betul itu, harus tetap waspada, karena kelihaian Jakarta ibarat magic yang bisa menampilkan sesuatu yang berbeda dari kenyataan.
    Jakarta kalau dilihat dari pinggir jalan Sudirman itu sangat mewah, tapi kalau mau jalan sedikit saja dan menatapnya dari pinggir rel kereta maka pemandangannya akan berbeda.

    1. nah.. mamie yakin om kirman lebih banyak ‘melihat’ karena lumayan perjalanan naik kereta setiap pagi, pasti banyak sekali yang bisa dipelajari. Benar om kita nda boleh lengah, berharap semuanya tetap baik dan dalam lindunganNya .. Aminnn

  11. Jakarta.

    Saya gak pernah berpikir apa-apa sih. Waktu memutuskan pindah, hanya berpikir bahwa saya harus mencari pengalaman lebih banyak dan belajar lebih banyak lagi pada kehidupan. Jadi ketika mencari lowongan pekerjaan pun gak langsung masuk ke pusat Jakarta, tapi malah ke pinggir2nya dulu 😀

  12. Jakarta.

    Saya gak pernah berpikir apa-apa sih. Waktu memutuskan pindah, hanya berpikir bahwa saya harus mencari pengalaman lebih banyak dan belajar lebih banyak lagi pada kehidupan. Jadi ketika mencari lowongan pekerjaan pun gak langsung masuk ke pusat Jakarta, tapi malah ke pinggir2nya dulu 😀

    1. mba.. biasanya pas lihat laut itu kita ngeri, tapi pas kita sudah berenang, sepertinya biasa saja dan malah enjoy #ratjoen 😀

    1. mba.. biasanya pas lihat laut itu kita ngeri, tapi pas kita sudah berenang, sepertinya biasa saja dan malah enjoy #ratjoen 😀

Leave a Reply to rara Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *